Diskusi Biru

apa-apa untuk siapa saja, selalu dari sang Nona :)

29 Juli 2023

Di sini saja.

Ada sebuah rahasia yang bersemayam dalam untai kata di lembar-lembar sebelum ini. 
Apa kau tau itu?


Aku tak pernah tau senja itu apa. Tak pernah ku tau bagaimana wujudnya. Tiada pernah sedikit pun kuharap hadirnya.
Semula, kupikir ini semua tentang torehan warna-warni menawan di cakrawala, yang menyambut malam, dan sang rembulan, serta suara dengkuran jangkrik-jangkrik itu. Senja yang kukenal kali pertama, bertuan selamanya, katanya. 

Tak kusangka akan seindah itu hadirnya yang sementara. 
Sementara.
Kunanti dalam guyuran hujan, ragu-ragu dalam beribu biru, yang membasuhku hingga tersadar.
Bukan selamanya. 
Kunanti di tepian pantai, bagai batu karang dihantam ombak bertubi-tubi, aku gemelugut dan tetap diam.
Ternyata, ini bukan tentang senja yang bertuan. Nonanya, bukan pula aku.


Terseok-seok langkahku, menuntun ke arah barat. Harap-harap cemas senja tampak di ujung sana. Kali ini, esok nanti, kemudian hari. Tak kunjung datang. Tak datang selamanya. Kemudian, selalu hujan. Namun, kali ini, aromanya tiada hadirkan apa-apa. Semacam bernostalgia? Ah, bagian mana yang harus diingat, aku pun sudah tak begitu ingat. 

Mungkinkah dikarenakan hati yang tak lagi mengasa jauh selayak dahulu? 
Hatiku terasa sudah lama jatuh melandai dan tertanam, kemudian tumbuh kokoh disiram kesahihan mantra yang kuhirup dan resapi. Jauh setelah senja yang membawamu pergi itu karam di pelupuk mataku.
Mungkinkah dikarenakan hati yang tak lagi memendam pun mendendam?
Entah pada sesiapa kata itu ditujukan, tetapi sejak saat itu hatiku sudah lama terombang-ambing di samudera. Berkeping pilu dibalut ragu itu, semuanya luruh terbasuh. Jangan khawatir, aku bisa berenang. Aku tidak tenggelam kemudian karam.


Sekarang, aku di sini. Tidak menanti apa-apa dan sesiapa. 
Senja? Hujan? Sudah bukan tentang mereka lagi. Tiada yang bertuan. Biarlah mereka hadir pada waktu yang dibutuhkan, bukan diinginkan. Jangan suka-suka hati sendiri. 


Alih-alih menanti salah satunya, aku terkelu di bawah naungan rembulan. Terpana dalam jelaga dan samar-samar suara ayam yang satu per satu terbangun dari lelap tidur mereka. Ada yang lebih indah dari lanskap dini hari detik itu, ternyata. Yang ternyata lebih indah dari pergumulan warna merah, jingga dan kuning di langit biru. Yang ternyata lebih indah dari jatuhnya bintik salju di pesisir pantai di malam hari. 
Aku ... tak mampu merangkai kata-kata untuk mewakilkan bagian 'yang lebih indah' itu. Semua-muanya, kutak berdaya. Reminisensinya untukku saja, semau-maunya. 
Sebab, waktu kan berlalu dan ingatan kan memudar. Walau begitu, hati tak akan pernah lupa.

Hatiku tak akan pikun, akan tangan yang melukis di atas lukaku dengan segala warna yang tertemu. Hatiku tak akan linglung ke arah mana akan mengetuk pintu saat kembali pulang dari lelah dan segala yang dibutuhkan hanya rebah sambil berkesah, sampai basah. Hatiku tak akan keliru, di sebelah mana ia kan terbangun menikmati singsingan fajar di sisi dermaga. 
Hatiku, ia yang tak akan pernah lupa ... 


"Cause you never think that the last time is the last time. You think there will be more. You think you have forever, but you don't."

Aku hanya di sini saja. Menikmati apa yang ada, dan juga tiada.



6 Oktober 2022

Lembaran yang Tertulis Kembali


Lembar-lembar buram itu lenyap dilahap rayap. Hangus dibawa arus waktu, yang tak dapat terulang kembali.

Tertentang, masih ada lembar-lembar lain.

Tertulis kembali di dalamnya; hal-hal yang harusnya tak lagi muncul ke permukaan. Atau mungkin memang sudah semestinya rekonsiliasi?

Lembaran itu punya nomor halaman. Selagi napas tiada tersendat, kisahnya tak akan tamat. Isinya hanyalah kisah-kisah yang jujur nan tulus, dengan sedikit bagian kelam bersayat luka, terselip rindu dan pengharapan, serta bagian yang penuh tanda tanya. Sesekali patah, basah, dirobek dan hilang. Kali ini, tertulis kembali.

Suatu kisah yang dalam lembaran ini mengingatkan pada hal yang sama, yang bermula di suatu masa.

‘Berawal dari beberapa pemikiran’.

Mengakar dalam jiwa, dari benih-benih perandaian dan tanda tanya yang tumbuh rimbun penuhi kandangnya. Menyeruak kian beringas, lahap segala yang tak kasat mata, ambil alih singgasana empunya.

Segala yang bermula dari jiwa pasti akan meretas raga juga pada akhirnya. Keluar, dari bagian terdalam—karena belum adanya kepuasan pada satu ruang, karena masih banyaknya tanda tanya yang belum berganti titik tegas.

Benar kata hati yang unggul dalam mentitah benak; bahwa hakikat keduanya seragam; berbuah getir juwita juga atas segala-galanya. Namun, kali ini hari-hariku lebih dikuasai benak sendiri.

Atas apa-apa yang bukan kuasaku; belum waktunya untuk terungkap, atau nanti kan memburai jua, begitu datang ia berkecamuk menyerang batin bagai badai topan kelam yang menyengkak tak karuan. Terulang kembali, di tahun ini. Gerimis diluar yang mampir, badai berlalu-lalang di dalam seakan tak temukan pintu keluarnya.

Aku ini, yang biasanya ikuti isi hati, kini terpenjara, oleh isi kepala sendiri.

Entah bermula di garis mana. Begitu banyak tanya yang nihil jawaban. Menerka pun sia-sia. Waktu terbuang, hal yang sama kian mengulang. Tak kusangka, hal terganas dalam hidup adalah pikiran sendiri. Terkungkung di dalamnya membuat jiwaku rusak, menjalar ke seluruh organ tubuh. Raga yang semula baik-baik malah tiba-tiba terkapar tak berdaya. Semua yang bersumber pada satu titik saja.

Badai topan dalam pikiran sendiri selalu berusaha kulalui, tiap menit di tiap hari-hari. Semua kuupayakan; bergerak kesana-kemari, bertemu kawan, menyegarkan fisik, mengejar yang hampir terlewat dan melakukan segala yang belum pernah dilakukan, bahkan yang seharusnya tidak dilaksanakan.

Mencari jalan untuk hilang ingatan, bisa dibilang. Sungguh lah berisik. Teramat sangat berisik.

Ini benar-benar buruk. Samasekali bukan hal sepele.

Ternyata, pikiran manusia memang bisa jadi kawan maupun lawan. Dan kini, aku habis babak-belur dihantam pikiran yang sedang menjadi lawan diriku sendiri. Perawatan dibutuhkan cukup lama, dan obat-obatan tak kan selamanya mengulurkan tangan. Pun olahraga terasa percuma, karena yang sedang sekarat bukan sekujur badan.

Semua itu, harus dimulai dari aku dan pikiranku yang wajib untuk berdamai dahulu.

Hingga kemudian, setelah kembali berkawan, pasti akan ada masa dimana keduanya tak sama haluan; berlawanan. Tiada mengapa, sedikit pun bukan masalah. Karena aku, tentu akan tau bagaimana harus menghadapi lawanku, sebab ialah kawanku yang paling kukenal.

Bagaimana jika tidak begitu mengenal kawanmu sendiri?

Kau menaruh perhatian padanya; mengamati dan menerima, lantas kau lah kawan terbaik yang paling mengenalnya.

Sampai suatu hari lagi, yang berkawan kembali menjadi lawan, hingga berkawan kemudian, dan begitu seterusnya.

 

 

p.s. : hati-hati sama pikiran sendiri!

23 September 2022

Berjejak

 Chapter Twenty Two

     who were you

       before they broke your heart?

 

 

Suatu malam,

aku berkendara dengan tiap sisa-sisa asa dari malam-malam kemarin. Sendiri saja. Membelah angin yang mengarahkanku kesana dan kemari. Mataku memandangnya buram, seluruh cahaya yang mengiringi perjalanan. Suasana yang tak pernah terasa asing, kini kembali menemaniku.

Di malam-malam kemudian, kucoba sapa satu per satu bayanganku dengan senyuman. Di sudut kota itu, kala angkara dibasuhi hujan deras sampai ia luruh. Di bawah jagat sarwa, mengharap bintang jatuh yang kemudian bisikkan doa bukan air mata. Di pinggiran lipatan jingga yang hampir terlewati pada suatu sore yang membahagiakan. Tapi bagian yang paling kusuka adalah ketika berbincang dengan binar matamu di bawah sinar rembulan.

Dan malam ini hanya tersisa aroma benang raja yang masih mendebarkan sanubari.

 

Tapi di suatu pagi,

aku bukanlah aku yang itu.

Saling tabrak melawan arah angin yang malas tuk berhembus, tak membawaku kemana-mana. Tanpa cahaya ku sudah terbiasa, tanpamu juga. Hanya terdiam, di bawah langit-langit yang kaku. Mengawang. Dunia yang ada di dalam kepala terasa jauh lebih luas dari dunia yang membentang luas cakrawala. Sempat lupa tuk kembali menapak, hingga tiba-tiba jatuh dan terluka. Beribu biru. Yang merah sepertinya sudah lama pecah, bagai bunga api yang panas semakin mengecil, kecil, dan padam. Sirna. Sisanya hitam. Dingin.

Sempat kutanya Tuhan, lagi, aku ini sedang kenapa?

Menangis, merintih, dan sedih. Bahkan tawa tak lagi bisa dipaksa tuk tutupi luka.

 

Bukan raga katanya, tapi ada yang pelan-pelan rusak di dalam sini.

Sesuatu yang gusar, yang muak, terlalu sering dibungkam, dikubur dalam-dalam. 

 

Selalu kuharapkan, akan berbeda nanti, saat yang kulihat tetaplah sama seperti sedia kala. Tidak berganti, tertukar, tak pernah berubah. Sungguh-sungguh, telah kutendang jauh dari dalam sistemku. Tiada disangka, kausal ternyata—yang kan terus melakukan perubahan berangsur-angsur.

Sebagian reminisensi tak kan pernah tanggal dari tulang-tulang, umpama garam di laut; mereka menjadi bagian dari dirimu, yang kan kau bawa.

Nyatanya, aku adalah aku. Tetap dan masih sama. Aku yang ini, dan aku yang itu.

 

you can’t forget someone when

you’re still hoping for them to come back.

[will I ever stop hoping?]

 

23 Juni 2021

Katalisator

Kamu;
karena yang lain
tidak masuk akal.
Ralat—  
memang yang lain
tidak pernah ada.


Indah ...
buatku, adalah di saat bisa menjadi senyaman itu dengan seseorang yang kusadari ialah tempatku bercurah akan segala kesah kisah yang selama ini kusimpan sendiri dengan susah payah. Sebegitu nyaman sampai rasanya seperti … samasekali bukan terjatuh. Tiada terantuk pun buatku senang— dan kuketuk pintumu yg sepi di jendela, kulihat kakiku rapuh. 
Kemudian, tersadar aku bahwa sudah sampai di rumah.

Kau melukis di atas lukaku dengan segala warna yang tertemu, hingga pada akhirnya semua itu lenyap bersama singsingan fajar. Sementara aku kerap tanpa sadar menabur garam di atas lukamu, nian kau menikmatinya sendirian.

Responsibilitinya adalah agar hati yang satu tetap terjaga, sebaik-baiknya.


Bilamana beberapa mimpiku jatuh di lantai, ajaklah jiwaku berlari menuju hatimu. Dan ajaklah aku berlari setelah kau bangunkan aku dari tidurku yang kelabu ini, menujumu; dengan entah, melingkar di jemarimu atau, 
 mengentah bersama-sama. Biarkan aku berjalan bersamamu, agar tak sendirian kau menatap burung-burung, gunung, dan bulan yang sendirian itu.

Sampai suatu hari, jika nanti kau terbangun merindukanku, dan hatimu bertanya-tanya dimana gerangan kuberada … kupikir arah mana yang kau ambil tak kan salah. 
ingatkan lagi dimana lembar pertama cerita kita? 
Di sana. Tiada kan kuberanjak. Hadirmu kunanti; di sana, seperti sedia kala. 

Karena …
Dalam dekapmu, kutitipkan sendu dan ragu.
Dalam pelukmu, kuserahkan sejuta pintaku.
Agar kamu tau satu hal.
Satu dari seribu, aku mau kamu.


'memang harus kamu', apa terdengar egois?

Supaya kelak, setelah penghujan, kepada bibirmu lah aku pulang.


p.s. : yang kurasa untukmu, semua-muanya, tak mampu kutuang dalam kata, semau-maunya. Dengan entah, tak kutau cara yang sepantasnya ... 

22 Juni 2021

— Aku sungguh


apa-apa.
Ingin sekali berkata begitu. Nyatanya, malah diawali dengan tidak.
Seingat saya, dengan baik-baik saja mereka adalah kerabat dekat. Atau tampaknya sedang tak akur? Entah. 

Yang pernah saya dengar, hanya kalimat tanya seperti ini:
Would you like you if you met you?

Cenderung spontan mengangguk mantap, orang-orang, kemudian diam beberapa detik; “eh eh tunggu dulu deh..”, malah jadi ragu. Awalnya iya, akhirnya tidak. Kira-kira yang mana?
Bukan perihal hati yang dibolak-balik oleh Sang Maha. Tetapi seringkali ada bagian pada diri yang tak diceritakan, disimpan bukan untuk dunia luar, yang tak jarang membuat kalut dan lalai. Niatnya mengobati malah semakin lebar lukanya terbuka. Dan yang tau sesiapa? Kan cuma pemiliknya.   
Eh, saya?
Apa saya akan menyukai diri saya jikalau bertemu saya?

Sama. Jawab diawal adalah iya, pastinya. Sekitar dua puluh persen barangkali, sisanya ya tebak sendiri. Tidak akan semudah itu menjabarkan apa-apa yang jadi alasan dibalik tidaknya. Ada kah yang menaruh perhatian? Peduli setan malah. 
Apathy
Pun berandai saja tak ada human error, empati tentu ada di tiap diri umat manusia sekarang. Simpati tanpa empati pun sama aja bohong sih …



“Kau tau tidak? Dia tak pernah bermaksud begitu.
Dia hanyalah seorang pejuang yang sendirian. Dalam perjalanan, dia mencintai; tapi tidak dengan dirinya sendiri, dia mengobati luka-luka, menemani yang sepi, menumbuhkan yang patah; tapi tidak dengan miliknya sendiri. Seperti cahaya yang menghampiri api. 
Dia itu berpura-pura lupa saja siapa yang lebih butuh itu semua, karena yang di sana untuknya tak pernah satu pun ada.” 
—katanya begitu, seolah mengisahkan bukan dirinya sendiri.  
 

p.s. : sungguh, aku berusaha. Untuk hilangkan tidak sebelum baik-baik saja-ku. 

23 Februari 2021

— Sebab suatu sore

Februari senja tenggelam dalam pantulan bulan yang malam itu sudah usai purnamanya. Benderang. Langit pekat yang bersih tanpa bintang, tapi cukup ramai, dan tidak apa-apa. 

Tidak apa-apa bagi kita untuk sejenak menikmati detik yang harusnya dinikmati selagi tidak sendiri. Selagi sedang tidak menoleh ke belakang, atau terkurung dalam kesendirian yang berisik, selagi tidak meneropong jauh ke suatu di sana yang belum tentu ada.

Saya bertemu hujan hari itu. Berkisah, nonanya entah kenapa … mondar-mandir tak karuan sambil gigit kuku jempol yang belum sempat dipotong. Tentu hal pertama yang hujan tanyakan adalah perihal apa yang ia rasakan beberapa hari terakhir. Dan nona terdiam.


“Apa kau baik-baik saja?” tanya hujan lagi.

“Justru itu. Aku merasa baik-baik saja, lalu dimana tidaknya?”

Dari balik jendela berbingkai kayu kecoklatan yang mulai rapuh itu, saya tempelkan pipi di atas telapak tangan, sambil terus mendengar sang hujan. Dikatakan, nona merasa ada yang aneh dengan dirinya. Selama ini, sudah tak asing rasanya untuk merasa tidak baik-baik saja. Seolah berkawan lama, kemudian terpisahkan dengan paksa.

“dan mungkin aku memang merindu untuk itu.” begitu kata nona.

Padahal, akan selalu baik-baik saja, namun harus ada ‘tidak’ yang sesekali memberi warna lain. Menghadirkan rasa syukur yang cukup untuk diutarakan kepada Sang Pencipta. Lalu, bagaimana jika saat dimana ‘tidak baik-baik saja’ terlalu mendominasi?

Kemudian nona berkata begini, “Aku baik-baik saja, dan aku senang akan hal itu. Nyatanya, kutakutkan kelak kata ‘tidak’ itu tiba-tiba datang menghantamku bertubi-tubi hingga tak bisa bangkit lagi, tak seperti yang dulu-dulu.”

“Dulu belum ada aku.” timpal hujan.

Mendengarnya, nona hanya tersenyum. Senyum lembut seperti pakaian yang baru disetrika. Detik berikutnya, kata hujan, nona berkata, 

“Justru dengan derasnya hadirmu saat ini, hujan, kutakutkan terjerembab ke dalam tanah basah yang kotor—baunya sudah tak sama lagi, dan kau hanya membuatnya longsor menimpaku sendirian.”

Sebentar. Jadi, ini semua tentang nona dan hujannya sejak awal?


“Kau aneh, nona. Sungguh.”

“Bilang saja satu dari seribu, itu jauh lebih baik.”

Dan nona hanya tersenyum, sementara hujan rintik-rintik sebentar kemudian sampai detik sekarang kembali mengguyur malam yang tak lagi hening. Saya hanya di sini untuk mendengarkan.


‘Sebab suatu sore harinya menyampaikan kebahagian padanya.’


23 Januari 2021

— Januari


Hai. Sudah Januari lagi, malah akan berakhir. 

 

Kamu baik? Saya harap begitu. Karena rasanya ‘baik’ adalah suatu keharusan, walau sedang tidak sekalipun.

Oh ya, bagaimana hari-harimu di Januari? Saya yakin tidak semuanya berjalan sesuai keinginan. Katakanlah seperti … berimbang. We’ve had a few good night and a couple of bad ones, dan itu bukan masalah.

Hidup selalu berusaha mengajarkanmu sesuatu yang tidak diajarkan di bangku sekolah. Percaya deh.

Lalu, apa yang sudah Januari berikan padamu?

 

Ow, jadi kamu mau dengar bagian saya dulu? Hmm …

Bagaimana jika saya awali dengan sebuah kehilangan mendalam yang bukan hanya saya rasakan, tetapi untuk seluruh anggota keluarga. Tidak masalah? Seperti yang saya katakan sebelumnya, nggak selamanya 7 hari dalam seminggu berisi hal-hal baik dan menyenangkan, benar? Bad things happen. Meninggalkan luka, kenangan, sebuah makna dan pesan, yang kelak dijadikan pelajaran. Jangan khawatir, im okay now. Setidaknya, selalu ada waktu untuk berproses.

Mari saya lanjutkan dengan sepenggal kisah dua orang sahabat yang terpisah oleh jarak dan waktu. Saat mereka bertemu, semua yang ada pada diri keduanya terasa tak lagi sama seperti dahulu. Sahabat yang satu, katakanlah X, selalu teringat akan kenangan bersama sang sahabat terutama tiap kali mereka berlarian di kebun dan memetik apel merah segar.

Sang sahabat bertanya keheranan, “Kenapa kenangan itu melulu sih yang teringat olehmu?!”

“Karena hanya dengan kenangan itu aku dapat mengingat sesuatu yang tidak pernah berubah.” Begitu jawab X, cukup sendu wajahnya.

People change,  tapi tidak dengan kenangannya. Bertemu dengan sahabatnya setelah sekian lama, X merasa ada sesuatu yang berubah. X kehilangan dirinya, ia merasa sengaja terus mengingat kenangan itu hanya untuk menyaksikan bahwa sahabatnya masih di sana dan semuanya tetaplah sama. Ia belum sadar, bahwa dirinya belum bisa menerima. Perubahan itu tidak selalu buruk, bukan? Andaikan X mengajak sahabatnya mengulang kembali kenangan indah mereka, tentu sang sahabat akan sangat senang. Ia hanya perlu mengingat bahwa sahabatnya masih orang yang sama, walau soal berubah itu pastilah ada.

Sekarang, coba kulanjutkan kisahnya dari sudut pandang sang sahabat, Y. Tanpa sepengetahuan X, jauh di tempatnya berada, Y mengalami banyak hal yang terasa memahat dirinya menjadi seseorang yang lebih baik dari sebelumnya. Tidak sama, tapi tetaplah dirinya. Setelah bertemu dengan X pun ia melihat ada sesuatu yang berubah, dan itu bukan masalah. Di matanya, X adalah sosok sahabat yang sama seperti bagaimana dulu ia mengenalnya.

Klise. People change, yet still the same.

Soal berubah, bisa jadi saya nggak merasa tapi kamu merasa—tergantung dari sebelah mana melihatnya. Sudut pandang kita berbeda, ingat?

Mungkin beberapa orang akan melepaskan diri dari orang-orang yang dirasa sudah berbeda, terserah dari segi obrolan, pemahaman atau lainnya. We don’t know why people do what they do. Setiap orang melihat dari jendela masing-masing, setiap dari mereka punya alasannya sendiri. Bahkan beberapa alasan kadang nggak masuk akal untuk dijadikan alasan. Pernyataannya yang nggak boleh dipertanyakan, namun alasan kenapa, itu adalah pilihan kita untuk mau tau atau nggak.

 

Semoga dari sepenggal kisah tadi maknanya tersampaikan, ya.

Hidup itu layaknya sebuah garis. Ada titik awal juga titik akhir. Tapi, kalau kamu membayangkan garis itu sebagai sebuah lingkaran, hal baik dan buruk kerap terjadi, tiba-tiba saja rasanya dunia ini seperti sebuah tempat yang kecil.

 

Rasanya cukup banyak yang belum terdengar. Semoga waktu mempertemukan kamu dan saya di kesempatan yang tepat ya, banyak hal yang menggebu minta diutarakan secepatnya, nih!

Jaga kesehatan. May okay will be our always :)