Reminisensi Nona Hujan
Diskusi Biru
29 Juli 2023
Di sini saja.
6 Oktober 2022
Lembaran yang Tertulis Kembali
Lembar-lembar
buram itu lenyap dilahap rayap. Hangus dibawa arus waktu, yang tak dapat
terulang kembali.
Tertentang,
masih ada lembar-lembar lain.
Tertulis
kembali di dalamnya; hal-hal yang harusnya tak lagi muncul ke permukaan. Atau
mungkin memang sudah semestinya rekonsiliasi?
Lembaran
itu punya nomor halaman. Selagi napas tiada tersendat, kisahnya tak akan tamat.
Isinya hanyalah kisah-kisah yang jujur nan tulus, dengan sedikit bagian kelam
bersayat luka, terselip rindu dan pengharapan, serta bagian yang penuh tanda
tanya. Sesekali patah, basah, dirobek dan hilang. Kali ini, tertulis kembali.
Suatu
kisah yang dalam lembaran ini mengingatkan pada hal yang sama, yang bermula di
suatu masa.
‘Berawal dari beberapa
pemikiran’.
Mengakar
dalam jiwa, dari benih-benih perandaian dan tanda tanya yang tumbuh rimbun
penuhi kandangnya. Menyeruak kian beringas, lahap segala yang tak kasat mata,
ambil alih singgasana empunya.
Segala
yang bermula dari jiwa pasti akan meretas raga juga pada akhirnya. Keluar, dari
bagian terdalam—karena belum adanya kepuasan pada satu ruang, karena masih banyaknya
tanda tanya yang belum berganti titik tegas.
Benar
kata hati yang unggul dalam mentitah benak; bahwa hakikat keduanya seragam;
berbuah getir juwita juga atas segala-galanya. Namun, kali ini hari-hariku
lebih dikuasai benak sendiri.
Atas
apa-apa yang bukan kuasaku; belum waktunya untuk terungkap, atau nanti kan
memburai jua, begitu datang ia berkecamuk menyerang batin bagai badai topan
kelam yang menyengkak tak karuan. Terulang kembali, di tahun ini. Gerimis
diluar yang mampir, badai berlalu-lalang di dalam seakan tak temukan pintu
keluarnya.
Aku
ini, yang biasanya ikuti isi hati, kini terpenjara, oleh isi kepala sendiri.
Entah
bermula di garis mana. Begitu banyak tanya yang nihil jawaban. Menerka pun
sia-sia. Waktu terbuang, hal yang sama kian mengulang. Tak kusangka, hal
terganas dalam hidup adalah pikiran sendiri. Terkungkung di dalamnya membuat
jiwaku rusak, menjalar ke seluruh organ tubuh. Raga yang semula baik-baik malah
tiba-tiba terkapar tak berdaya. Semua yang bersumber pada satu titik saja.
Badai
topan dalam pikiran sendiri selalu berusaha kulalui, tiap menit di tiap
hari-hari. Semua kuupayakan; bergerak kesana-kemari, bertemu kawan, menyegarkan
fisik, mengejar yang hampir terlewat dan melakukan segala yang belum pernah
dilakukan, bahkan yang seharusnya tidak dilaksanakan.
Mencari
jalan untuk hilang ingatan, bisa dibilang. Sungguh lah berisik. Teramat sangat
berisik.
Ini
benar-benar buruk. Samasekali bukan hal sepele.
Ternyata,
pikiran manusia memang bisa jadi kawan maupun lawan. Dan kini, aku habis
babak-belur dihantam pikiran yang sedang menjadi lawan diriku sendiri.
Perawatan dibutuhkan cukup lama, dan obat-obatan tak kan selamanya mengulurkan
tangan. Pun olahraga terasa percuma, karena yang sedang sekarat bukan sekujur
badan.
Semua
itu, harus dimulai dari aku dan pikiranku yang wajib untuk berdamai dahulu.
Hingga
kemudian, setelah kembali berkawan, pasti akan ada masa dimana keduanya tak
sama haluan; berlawanan. Tiada mengapa, sedikit pun bukan masalah. Karena aku,
tentu akan tau bagaimana harus menghadapi lawanku, sebab ialah kawanku yang
paling kukenal.
Bagaimana jika tidak
begitu mengenal kawanmu sendiri?
Kau
menaruh perhatian padanya; mengamati dan menerima, lantas kau lah kawan terbaik
yang paling mengenalnya.
Sampai
suatu hari lagi, yang berkawan kembali menjadi lawan, hingga berkawan kemudian,
dan begitu seterusnya.
p.s.
: hati-hati sama pikiran sendiri!
23 September 2022
Berjejak
Chapter Twenty Two
— who were you
before they broke your heart?
Suatu malam,
aku berkendara dengan tiap sisa-sisa asa dari
malam-malam kemarin. Sendiri saja. Membelah angin yang mengarahkanku kesana dan
kemari. Mataku memandangnya buram, seluruh cahaya yang mengiringi perjalanan.
Suasana yang tak pernah terasa asing, kini kembali menemaniku.
Di malam-malam kemudian, kucoba sapa satu per satu
bayanganku dengan senyuman. Di sudut kota itu, kala angkara dibasuhi hujan
deras sampai ia luruh. Di bawah jagat sarwa, mengharap bintang jatuh yang
kemudian bisikkan doa bukan air mata. Di pinggiran lipatan jingga yang hampir
terlewati pada suatu sore yang membahagiakan. Tapi bagian yang paling kusuka
adalah ketika berbincang dengan binar matamu di bawah sinar rembulan.
Dan malam ini hanya tersisa aroma benang raja yang
masih mendebarkan sanubari.
Tapi di suatu pagi,
aku bukanlah aku yang itu.
Saling tabrak melawan arah angin yang malas tuk
berhembus, tak membawaku kemana-mana. Tanpa cahaya ku sudah terbiasa, tanpamu
juga. Hanya terdiam, di bawah langit-langit yang kaku. Mengawang. Dunia yang
ada di dalam kepala terasa jauh lebih luas dari dunia yang membentang luas
cakrawala. Sempat lupa tuk kembali menapak, hingga tiba-tiba jatuh dan terluka.
Beribu biru. Yang merah sepertinya sudah lama pecah, bagai bunga api yang panas
semakin mengecil, kecil, dan padam. Sirna. Sisanya hitam. Dingin.
Sempat kutanya Tuhan, lagi, aku ini sedang kenapa?
Menangis, merintih, dan sedih. Bahkan tawa tak lagi
bisa dipaksa tuk tutupi luka.
Bukan raga
katanya, tapi ada yang pelan-pelan rusak di dalam sini.
Sesuatu yang
gusar, yang muak, terlalu sering dibungkam, dikubur dalam-dalam.
Selalu
kuharapkan, akan berbeda nanti, saat yang kulihat tetaplah sama seperti sedia
kala. Tidak berganti, tertukar, tak pernah berubah. Sungguh-sungguh, telah
kutendang jauh dari dalam sistemku. Tiada disangka, kausal ternyata—yang kan terus
melakukan perubahan berangsur-angsur.
Sebagian
reminisensi tak kan pernah tanggal dari tulang-tulang, umpama garam di laut;
mereka menjadi bagian dari dirimu, yang kan kau bawa.
Nyatanya, aku
adalah aku. Tetap dan masih sama. Aku yang ini, dan aku yang itu.
you can’t forget someone when
you’re still hoping for them to come back.
[will I ever stop hoping?]
23 Juni 2021
Katalisator
22 Juni 2021
— Aku sungguh
23 Februari 2021
— Sebab suatu sore
Februari senja tenggelam dalam pantulan bulan yang malam itu sudah usai purnamanya. Benderang. Langit pekat yang bersih tanpa bintang, tapi cukup ramai, dan tidak apa-apa.
Tidak apa-apa bagi kita untuk sejenak menikmati detik yang harusnya
dinikmati selagi tidak sendiri. Selagi sedang tidak menoleh ke belakang, atau
terkurung dalam kesendirian yang berisik, selagi tidak meneropong jauh ke suatu
di sana yang belum tentu ada.
Saya
bertemu hujan hari itu. Berkisah, nonanya entah kenapa … mondar-mandir tak karuan
sambil gigit kuku jempol yang belum sempat dipotong. Tentu hal pertama yang
hujan tanyakan adalah perihal apa yang ia rasakan beberapa hari terakhir. Dan
nona terdiam.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya hujan lagi.
“Justru
itu. Aku merasa baik-baik saja, lalu dimana tidaknya?”
Dari
balik jendela berbingkai kayu kecoklatan yang mulai rapuh itu, saya tempelkan
pipi di atas telapak tangan, sambil terus mendengar sang hujan. Dikatakan, nona
merasa ada yang aneh dengan dirinya. Selama ini, sudah tak asing rasanya untuk
merasa tidak baik-baik saja. Seolah berkawan lama, kemudian terpisahkan dengan
paksa.
“dan
mungkin aku memang merindu untuk itu.” begitu kata nona.
Padahal,
akan selalu baik-baik saja, namun harus ada ‘tidak’ yang sesekali memberi warna
lain. Menghadirkan rasa syukur yang cukup untuk diutarakan kepada Sang Pencipta.
Lalu, bagaimana jika saat dimana ‘tidak baik-baik saja’ terlalu mendominasi?
Kemudian
nona berkata begini, “Aku baik-baik saja, dan aku senang akan hal itu.
Nyatanya, kutakutkan kelak kata ‘tidak’ itu tiba-tiba datang menghantamku
bertubi-tubi hingga tak bisa bangkit lagi, tak seperti yang dulu-dulu.”
“Dulu
belum ada aku.” timpal hujan.
Mendengarnya, nona hanya tersenyum. Senyum lembut seperti pakaian yang baru disetrika. Detik berikutnya, kata hujan, nona berkata,
“Justru dengan derasnya hadirmu saat ini, hujan, kutakutkan terjerembab ke dalam tanah basah yang kotor—baunya sudah tak sama lagi, dan kau hanya membuatnya longsor menimpaku sendirian.”
Sebentar. Jadi, ini semua tentang nona dan hujannya sejak awal?
“Kau
aneh, nona. Sungguh.”
“Bilang
saja satu dari seribu, itu jauh lebih baik.”
Dan
nona hanya tersenyum, sementara hujan rintik-rintik sebentar kemudian sampai
detik sekarang kembali mengguyur malam yang tak lagi hening. Saya hanya di sini
untuk mendengarkan.
‘Sebab suatu sore harinya
menyampaikan kebahagian padanya.’
23 Januari 2021
— Januari
Hai. Sudah Januari lagi, malah akan berakhir.
Kamu baik? Saya harap begitu. Karena
rasanya ‘baik’ adalah suatu keharusan, walau sedang tidak sekalipun.
Oh ya, bagaimana hari-harimu di
Januari? Saya yakin tidak semuanya berjalan sesuai keinginan. Katakanlah
seperti … berimbang. We’ve had a few good night and a couple of bad ones,
dan itu bukan masalah.
Hidup selalu berusaha mengajarkanmu sesuatu
yang tidak diajarkan di bangku sekolah. Percaya deh.
Lalu, apa yang sudah Januari berikan
padamu?
Ow, jadi kamu mau dengar bagian saya
dulu? Hmm …
Bagaimana jika saya awali dengan
sebuah kehilangan mendalam yang bukan hanya saya rasakan, tetapi untuk seluruh
anggota keluarga. Tidak masalah? Seperti yang saya katakan sebelumnya, nggak
selamanya 7 hari dalam seminggu berisi hal-hal baik dan menyenangkan, benar? Bad
things happen. Meninggalkan luka, kenangan, sebuah makna dan pesan, yang
kelak dijadikan pelajaran. Jangan khawatir, im okay now. Setidaknya,
selalu ada waktu untuk berproses.
Mari saya lanjutkan dengan sepenggal
kisah dua orang sahabat yang terpisah oleh jarak dan waktu. Saat mereka
bertemu, semua yang ada pada diri keduanya terasa tak lagi sama seperti dahulu.
Sahabat yang satu, katakanlah X, selalu teringat akan kenangan bersama sang
sahabat terutama tiap kali mereka berlarian di kebun dan memetik apel merah
segar.
Sang sahabat bertanya keheranan,
“Kenapa kenangan itu melulu sih yang teringat olehmu?!”
“Karena hanya dengan kenangan itu
aku dapat mengingat sesuatu yang tidak pernah berubah.” Begitu jawab X, cukup
sendu wajahnya.
People change,
tapi tidak dengan kenangannya. Bertemu dengan sahabatnya setelah sekian
lama, X merasa ada sesuatu yang berubah. X kehilangan dirinya, ia merasa
sengaja terus mengingat kenangan itu hanya untuk menyaksikan bahwa sahabatnya
masih di sana dan semuanya tetaplah sama. Ia belum sadar, bahwa dirinya belum
bisa menerima. Perubahan itu tidak selalu buruk, bukan? Andaikan X mengajak
sahabatnya mengulang kembali kenangan indah mereka, tentu sang sahabat akan
sangat senang. Ia hanya perlu mengingat bahwa sahabatnya masih orang yang sama,
walau soal berubah itu pastilah ada.
Sekarang, coba kulanjutkan kisahnya
dari sudut pandang sang sahabat, Y. Tanpa sepengetahuan X, jauh di tempatnya
berada, Y mengalami banyak hal yang terasa memahat dirinya menjadi seseorang
yang lebih baik dari sebelumnya. Tidak sama, tapi tetaplah dirinya. Setelah
bertemu dengan X pun ia melihat ada sesuatu yang berubah, dan itu bukan
masalah. Di matanya, X adalah sosok sahabat yang sama seperti bagaimana dulu ia
mengenalnya.
Klise. People change, yet
still the same.
Soal berubah, bisa jadi saya nggak
merasa tapi kamu merasa—tergantung dari sebelah mana melihatnya. Sudut pandang
kita berbeda, ingat?
Mungkin beberapa orang akan
melepaskan diri dari orang-orang yang dirasa sudah berbeda, terserah dari segi
obrolan, pemahaman atau lainnya. We don’t know why people do what they do. Setiap
orang melihat dari jendela masing-masing, setiap dari mereka punya alasannya
sendiri. Bahkan beberapa alasan kadang nggak masuk akal untuk dijadikan alasan.
Pernyataannya yang nggak boleh dipertanyakan, namun alasan kenapa, itu adalah
pilihan kita untuk mau tau atau nggak.
Semoga dari sepenggal kisah tadi
maknanya tersampaikan, ya.
Hidup itu layaknya sebuah garis. Ada
titik awal juga titik akhir. Tapi, kalau kamu membayangkan garis itu sebagai
sebuah lingkaran, hal baik dan buruk kerap terjadi, tiba-tiba saja rasanya
dunia ini seperti sebuah tempat yang kecil.
Rasanya cukup banyak yang belum
terdengar. Semoga waktu mempertemukan kamu dan saya di kesempatan yang tepat
ya, banyak hal yang menggebu minta diutarakan secepatnya, nih!
Jaga kesehatan. May okay will be
our always :)