Diskusi Biru

apa-apa untuk siapa saja, selalu dari sang Nona :)

24 Desember 2024

Katalisis (ver. 1)

“Seperti apa rasanya dilupakan?”

“Mungkin seperti aku, menunggumu di tempat yang tak lagi kau ingat.”

    Umpama kata, kita tak pernah disunting menjadi kalimat utuh. Aku selalu jadi tanda tanya. Dan kau titik. Berhenti sebelum sempat bertemu.

    Pada suatu hari yang gelap, tubuhku basah dengan darah dan air mata. Betapa cepat kau basuh ia. Diangkut, melaju ke ujung pelangi. Tanamkan amarilis dan hortensia pada tiap jengkal setapak yang terjangkau, lalu mendaki bukit untuk terengah dan mengawang pada bulan dan menggaris konstelasi bintang yang membentuk kita. Kemudian hujan di tengah malam, kita berdansa renjana, hingga cahaya matahari menyingsing dan kudapati adalah seorang dirimu.

    Aku adalah seorang penyair. Tiap larik dan baitnya menarik garis tajam wajahmu, juga matamu yang bulat, dan lekuk bibirmu yang terang-terangan ingin mencumbu. Bunyinya merdu dan menenangkan. Ah, rekam ingatanku selalu membentuk sajak dirimu.

    Setidaknya seperti itu, sebelum kau mulai lalai menyiram hortensia di kebun kita dan tetap mengharapkan mekarnya. Kusiapkan air untuk menyiram, kau pilih pergi dengan menggadai janji, berharap hanya dengan itu kelopak demi kelopak yang kecil-kecil bulat itu akan bertanggang untuk kita. Sebelum akhirnya, di tengah terik perjalanan yang melelahkan, aku turun dan mengejar matahari. Kakiku lebih kencang dari putaran roda yang kau kemudikan. Bodohnya aku, mengharapnya tancap gas mengejar.

    Berani ku bersumpah, kutinggal puisi-puisiku kering. Amarilis dan hortensia; semuanya layu. Menyusuri lagi jalan-jalan yang panjang itu serempak dengan refleksi diri. Hingga tiba-tiba, jemarimu melingkar merayan pada seluruh asa yang mengembara. Kembali menjelajah bulevar kita, susuri tiap jalur yang ada. Perjalanan kali ini terasa semacam bercermin di kaca depan. Persis pantulan 214 hari, ditambah ribuan juta detik yang tak kau hiraukan.

    Dan pada suatu hari di musim penghujan, kau menyingkir dari tilam dan berlari menjauh dari badai tak kasat mata;  yang tak lagi bersangkutan denganku.

    “Menetaplah.” tapi, sudahlah. Semaumu saja, ditambah kau secepat itu beranjak.

    Seluruh kita luruh untukku. Bukan sesuatu yang belum kutahu, aku merasakannya. Dan kubenci larut membengkalai semuanya. Kau pun mafhum, kulakukan hanya menggenapkan yang ganjil. Kerap kepadamu menadah daku beserta darma tulus, sambil duduk dan mengindahkanmu.

    Hingga lagi-lagi, rupanya aku harus kembali mempertimbangkan diriku.

    Tiap tarikan napas terasa berat oleh realita membiru. Kau lazimkan semua yang tak akan pernah kulantaskan, kini aku akan berjalan mengitari kita. Kau lucut dari jemariku, apa aku benar-benar pernah menggenggam tanganmu?

    Sial, kemistri kita serasi tiada tanding. Kau telah merasuk, bak arus listrik menerjang ke dalam tulang. Tanpa penolakan, hingga kau gantikan takutku dengan kesenangan, sampai tanpa sadar; mati rasa, terbujur kaku aku karenamu.

    Meskipun begitu, nyawaku sisa tujuh. Tlah ku mencinta dan merela. Kunikmati hujan yang berjatuhan. Maksudku, ku yakin, kau hanya belum pernah serupa yang demikian itu.

    Yang sakit adalah separuh dirimu, sebagian lain yang lucut dari jemariku.

    Bukan salahku jika kau tak mampu duduk bersama hal-hal sulit, berbincang dan berterus terang. Pun tak terjumpa pintu keluar dari dirimu sendiri. Tidak, tiada amukan; tapi aku tak bisa mengambil bagian di ranjangmu. Kau anak baik yang teramat pilu.

    Dan tiada terbayangkan, ketika kau pulang ke tempat yang kau sebut rumah itu. Apakah ia mengikutimu bagai gema?

    Bagai bayang-bayang yang tak mampu kau berlari jauh darinya. Dari alasan dan kenyataan yang kau ledakkan malam itu; yang dengannya secara sadar kau pilih, waktu dan tempat dipersilakan.

    Tidak kah kau gundah terkait evidensi terpinggirkan tuk mendalangi aku?

    Kira-kira, bagaimana rasa sakit itu terasa sewaktu meleleh di lidahmu?


“Apa kau ingat bahwa kau sudah berjanji?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar