Apa kau tau itu?
Aku tak pernah tau senja itu apa. Tak pernah ku tau bagaimana wujudnya. Tiada pernah sedikit pun kuharap hadirnya.
Semula, kupikir ini semua tentang torehan warna-warni menawan di cakrawala, yang menyambut malam, dan sang rembulan, serta suara dengkuran jangkrik-jangkrik itu. Senja yang kukenal kali pertama, bertuan selamanya, katanya.
Tak kusangka akan seindah itu hadirnya yang sementara.
Sementara.
Kunanti dalam guyuran hujan, ragu-ragu dalam beribu biru, yang membasuhku hingga tersadar.
Bukan selamanya.
Kunanti di tepian pantai, bagai batu karang dihantam ombak bertubi-tubi, aku gemelugut dan tetap diam.
Ternyata, ini bukan tentang senja yang bertuan. Nonanya, bukan pula aku.
Terseok-seok langkahku, menuntun ke arah barat. Harap-harap cemas senja tampak di ujung sana. Kali ini, esok nanti, kemudian hari. Tak kunjung datang. Tak datang selamanya. Kemudian, selalu hujan. Namun, kali ini, aromanya tiada hadirkan apa-apa. Semacam bernostalgia? Ah, bagian mana yang harus diingat, aku pun sudah tak begitu ingat.
Mungkinkah dikarenakan hati yang tak lagi mengasa jauh selayak dahulu?
Hatiku terasa sudah lama jatuh melandai dan tertanam, kemudian tumbuh kokoh disiram kesahihan mantra yang kuhirup dan resapi. Jauh setelah senja yang membawamu pergi itu karam di pelupuk mataku.
Mungkinkah dikarenakan hati yang tak lagi memendam pun mendendam?
Entah pada sesiapa kata itu ditujukan, tetapi sejak saat itu hatiku sudah lama terombang-ambing di samudera. Berkeping pilu dibalut ragu itu, semuanya luruh terbasuh. Jangan khawatir, aku bisa berenang. Aku tidak tenggelam kemudian karam.
Sekarang, aku di sini. Tidak menanti apa-apa dan sesiapa.
Senja? Hujan? Sudah bukan tentang mereka lagi. Tiada yang bertuan. Biarlah mereka hadir pada waktu yang dibutuhkan, bukan diinginkan. Jangan suka-suka hati sendiri.
Alih-alih menanti salah satunya, aku terkelu di bawah naungan rembulan. Terpana dalam jelaga dan samar-samar suara ayam yang satu per satu terbangun dari lelap tidur mereka. Ada yang lebih indah dari lanskap dini hari detik itu, ternyata. Yang ternyata lebih indah dari pergumulan warna merah, jingga dan kuning di langit biru. Yang ternyata lebih indah dari jatuhnya bintik salju di pesisir pantai di malam hari.
Aku ... tak mampu merangkai kata-kata untuk mewakilkan bagian 'yang lebih indah' itu. Semua-muanya, kutak berdaya. Reminisensinya untukku saja, semau-maunya.
Sebab, waktu kan berlalu dan ingatan kan memudar. Walau begitu, hati tak akan pernah lupa.
Hatiku tak akan pikun, akan tangan yang melukis di atas lukaku dengan segala warna yang tertemu. Hatiku tak akan linglung ke arah mana akan mengetuk pintu saat kembali pulang dari lelah dan segala yang dibutuhkan hanya rebah sambil berkesah, sampai basah. Hatiku tak akan keliru, di sebelah mana ia kan terbangun menikmati singsingan fajar di sisi dermaga.
Hatiku, ia yang tak akan pernah lupa ...
"Cause you never think that the last time is the last time. You think there will be more. You think you have forever, but you don't."
Aku hanya di sini saja. Menikmati apa yang ada, dan juga tiada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar