Lembar-lembar
buram itu lenyap dilahap rayap. Hangus dibawa arus waktu, yang tak dapat
terulang kembali.
Tertentang,
masih ada lembar-lembar lain.
Tertulis
kembali di dalamnya; hal-hal yang harusnya tak lagi muncul ke permukaan. Atau
mungkin memang sudah semestinya rekonsiliasi?
Lembaran
itu punya nomor halaman. Selagi napas tiada tersendat, kisahnya tak akan tamat.
Isinya hanyalah kisah-kisah yang jujur nan tulus, dengan sedikit bagian kelam
bersayat luka, terselip rindu dan pengharapan, serta bagian yang penuh tanda
tanya. Sesekali patah, basah, dirobek dan hilang. Kali ini, tertulis kembali.
Suatu
kisah yang dalam lembaran ini mengingatkan pada hal yang sama, yang bermula di
suatu masa.
‘Berawal dari beberapa
pemikiran’.
Mengakar
dalam jiwa, dari benih-benih perandaian dan tanda tanya yang tumbuh rimbun
penuhi kandangnya. Menyeruak kian beringas, lahap segala yang tak kasat mata,
ambil alih singgasana empunya.
Segala
yang bermula dari jiwa pasti akan meretas raga juga pada akhirnya. Keluar, dari
bagian terdalam—karena belum adanya kepuasan pada satu ruang, karena masih banyaknya
tanda tanya yang belum berganti titik tegas.
Benar
kata hati yang unggul dalam mentitah benak; bahwa hakikat keduanya seragam;
berbuah getir juwita juga atas segala-galanya. Namun, kali ini hari-hariku
lebih dikuasai benak sendiri.
Atas
apa-apa yang bukan kuasaku; belum waktunya untuk terungkap, atau nanti kan
memburai jua, begitu datang ia berkecamuk menyerang batin bagai badai topan
kelam yang menyengkak tak karuan. Terulang kembali, di tahun ini. Gerimis
diluar yang mampir, badai berlalu-lalang di dalam seakan tak temukan pintu
keluarnya.
Aku
ini, yang biasanya ikuti isi hati, kini terpenjara, oleh isi kepala sendiri.
Entah
bermula di garis mana. Begitu banyak tanya yang nihil jawaban. Menerka pun
sia-sia. Waktu terbuang, hal yang sama kian mengulang. Tak kusangka, hal
terganas dalam hidup adalah pikiran sendiri. Terkungkung di dalamnya membuat
jiwaku rusak, menjalar ke seluruh organ tubuh. Raga yang semula baik-baik malah
tiba-tiba terkapar tak berdaya. Semua yang bersumber pada satu titik saja.
Badai
topan dalam pikiran sendiri selalu berusaha kulalui, tiap menit di tiap
hari-hari. Semua kuupayakan; bergerak kesana-kemari, bertemu kawan, menyegarkan
fisik, mengejar yang hampir terlewat dan melakukan segala yang belum pernah
dilakukan, bahkan yang seharusnya tidak dilaksanakan.
Mencari
jalan untuk hilang ingatan, bisa dibilang. Sungguh lah berisik. Teramat sangat
berisik.
Ini
benar-benar buruk. Samasekali bukan hal sepele.
Ternyata,
pikiran manusia memang bisa jadi kawan maupun lawan. Dan kini, aku habis
babak-belur dihantam pikiran yang sedang menjadi lawan diriku sendiri.
Perawatan dibutuhkan cukup lama, dan obat-obatan tak kan selamanya mengulurkan
tangan. Pun olahraga terasa percuma, karena yang sedang sekarat bukan sekujur
badan.
Semua
itu, harus dimulai dari aku dan pikiranku yang wajib untuk berdamai dahulu.
Hingga
kemudian, setelah kembali berkawan, pasti akan ada masa dimana keduanya tak
sama haluan; berlawanan. Tiada mengapa, sedikit pun bukan masalah. Karena aku,
tentu akan tau bagaimana harus menghadapi lawanku, sebab ialah kawanku yang
paling kukenal.
Bagaimana jika tidak
begitu mengenal kawanmu sendiri?
Kau
menaruh perhatian padanya; mengamati dan menerima, lantas kau lah kawan terbaik
yang paling mengenalnya.
Sampai
suatu hari lagi, yang berkawan kembali menjadi lawan, hingga berkawan kemudian,
dan begitu seterusnya.
p.s.
: hati-hati sama pikiran sendiri!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar