Bulan terakhir ini penuh dengan hujan. Ada yang jatuh begitu deras tapi sebentar, ada juga yang turunnya perlahan tapi mereda cukup lama.
Penghujan bulan terakhir kini, tetes demi tetesnya berisi nostalgia. Jatuh menghujamku dari puncak kepala menembus kulit sampai ke lubang tergelap jiwa. Sejak badai pertama yang kulalui, kau datang membawa warna-warni pelangi dan mulai melukis di atas lukaku. Ketika hujan di kota istimewa, di bawah curahnya kau ajak ku berdansa. Melingkar di jemarimu. Berlarian, terjatuh, terengah-engah, mengentah bersama. Sungguh, kunikmati waktu dalam hidupku melawan naga bersamamu. Hingga setelah penghujan itu, kepada bibirmu lah aku berpulang.
Namun, aku yang tak pernah siap, jadi hanya menyaksikanmu pergi. Di penghujan bulan terakhir.
Ini bukanlah sesuatu yang kau inginkan, kau hanya sedang tersesat oleh perasaanmu. Aku yang kau selamatkan dari badai bertahun lalu, maaf, tak mampu menelisik jauh ke dalam hutan rimba yang mengurung lukamu.
Lalu di suatu sore, hujan perlahan reda. Gemuruhnya tak lagi terdengar. Mendungnya tak lagi pekat. Genangannya semakin menghapus jejakmu. Hembusan angin yang semakin membuat kita membeku. Tubuh kita tak dingin. Hanyalah hati yang semakin jauh dari kehangatan.
Kudengar, pohon yang mati tetap menunggu hujan. Bukan untuk kembali hidup, melainkan untuk mempercepat pelapukan dan menghilang tanpa bekas. Tapi ini bukan tentang hujan, atau pohon.
Bulan terakhir ini milik orang-orang di rumah, tapi tidak lagi denganmu.
Selamat malam Minggu, Kasih. Malam yang berkabung dalam sunyi. Sisa-sisa penghujan yang dingin. Angin menari, namun tak membawa harumnya wangi tubuhmu. Kini hanya rindu yang diam, menggema riuh di relung hati. Kamu jauh, dan aku tenggelam sendirian. Lalu di tengah malam, aku terbangun menggigil dengan ingatan akan dirimu, di atasku menyeruak sesak. Bagaimana bisa ku salahkan angin yang mendobrak paksa, mengacau seisi kamar, jika akulah sosok yang membuka jendela setelah penghujan sore itu?
Embun pun tak mampu menghapus semua. Hanya menyisakan jejak-jejak yang terasa. Pada setiap pagi yang sunyi dan dingin, di bulan terakhir ini aku bertanya; apakah kau pun merindu dalam diam yang sama?
"Menetaplah."
Seluruh kita pun luruh. untukku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar