Chapter Twenty Two
— who were you
before they broke your heart?
Suatu malam,
aku berkendara dengan tiap sisa-sisa asa dari
malam-malam kemarin. Sendiri saja. Membelah angin yang mengarahkanku kesana dan
kemari. Mataku memandangnya buram, seluruh cahaya yang mengiringi perjalanan.
Suasana yang tak pernah terasa asing, kini kembali menemaniku.
Di malam-malam kemudian, kucoba sapa satu per satu
bayanganku dengan senyuman. Di sudut kota itu, kala angkara dibasuhi hujan
deras sampai ia luruh. Di bawah jagat sarwa, mengharap bintang jatuh yang
kemudian bisikkan doa bukan air mata. Di pinggiran lipatan jingga yang hampir
terlewati pada suatu sore yang membahagiakan. Tapi bagian yang paling kusuka
adalah ketika berbincang dengan binar matamu di bawah sinar rembulan.
Dan malam ini hanya tersisa aroma benang raja yang
masih mendebarkan sanubari.
Tapi di suatu pagi,
aku bukanlah aku yang itu.
Saling tabrak melawan arah angin yang malas tuk
berhembus, tak membawaku kemana-mana. Tanpa cahaya ku sudah terbiasa, tanpamu
juga. Hanya terdiam, di bawah langit-langit yang kaku. Mengawang. Dunia yang
ada di dalam kepala terasa jauh lebih luas dari dunia yang membentang luas
cakrawala. Sempat lupa tuk kembali menapak, hingga tiba-tiba jatuh dan terluka.
Beribu biru. Yang merah sepertinya sudah lama pecah, bagai bunga api yang panas
semakin mengecil, kecil, dan padam. Sirna. Sisanya hitam. Dingin.
Sempat kutanya Tuhan, lagi, aku ini sedang kenapa?
Menangis, merintih, dan sedih. Bahkan tawa tak lagi
bisa dipaksa tuk tutupi luka.
Bukan raga
katanya, tapi ada yang pelan-pelan rusak di dalam sini.
Sesuatu yang
gusar, yang muak, terlalu sering dibungkam, dikubur dalam-dalam.
Selalu
kuharapkan, akan berbeda nanti, saat yang kulihat tetaplah sama seperti sedia
kala. Tidak berganti, tertukar, tak pernah berubah. Sungguh-sungguh, telah
kutendang jauh dari dalam sistemku. Tiada disangka, kausal ternyata—yang kan terus
melakukan perubahan berangsur-angsur.
Sebagian
reminisensi tak kan pernah tanggal dari tulang-tulang, umpama garam di laut;
mereka menjadi bagian dari dirimu, yang kan kau bawa.
Nyatanya, aku
adalah aku. Tetap dan masih sama. Aku yang ini, dan aku yang itu.
you can’t forget someone when
you’re still hoping for them to come back.
[will I ever stop hoping?]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar