Diskusi Biru

apa-apa untuk siapa saja, selalu dari sang Nona :)

23 September 2019

Bulan ke Sembilan


Yang berada diluar arena; itu menyenangkan!



Saya senang membahas bulan. Tidak karena parasnya yang kata mereka indah. Saya tau, bulan tidak seindah itu, tidak. Tapi ia berada di bumantara, dan adalah satu di antara banyak hal lain yang saya suka. Juga, bulan tidaklah hanya satu buat saya. Banyaknya bulan saya sebanyak rasa es krim di dunia ini, dan itu penuh dengan beragam cita rasa.
Bulan-bulan sebelum bulan ke sembilan, rasa-rasanya aneh. Tak ada yang manis dan luput dari kebahagiaan. Seperti, ibumu terlalu sibuk memasak di dapur dan kau hanya harus membantunya menghitung beras sebelum ditanak. Seperti, jarum kompas yang bingung harus mengarah kemana padahal kau sudah berdiri di tempat yang tepat untuk mengetahuinya.
Sore itu, hujan turun. Hanya gerimis, tapi saya ingin cepat-cepat berteduh, hanya untuk duduk dan menyeruput kopi. Tidak sial juga, tapi bangku yang tersisa tepat di tengah rentetan kalimat yang terucap dari orang-orang yang isi cangkir kopinya sudah habis. Dari telinga kanan, terdengar celoteh “harus terus berada di jalan yang tepat, jangan sampai keluar jalur, nanti tersesat!”. Lalu dari telinga kiri, ada yang bilang “keluar dari zona nyaman itu nggak sseulit yang kamu bayangkan lho!”. Sudut bibir saya pun tertarik. Cukup lebar, sampai mungkin ada yang menyadarinya dan saya dikira tidak waras. Tapi saya tetap tersenyum. Celoteh dari kedua sisi tidak ada yang salah. Tau tidak kenapa?
Karena cara kerja otak dalam tengkorak tiap manusia berbeda. Mereka, di dalam astron, berkandung singularitas objek menjurus aksara pluralis. Mengerti? Karena memang tercipta sebagai kanan dan kiri yang saling melengkapi. Dan selebihnya, saya menyadari. Siapa-siapa yang pernah, juga pasti, akan tersenyum; mendengar celoteh dari kedua sisi tadi.
Tentu. Saya sudah, kok. Tepat di bulan ke sembilan. Oleh karena itu saya hanya tetap tersenyum. Yang pada bulan-bulan sebelumnya terjadi persis seperti celoteh dari sisi kanan, kemudian pada bulan ke sembilan terjadi persis celotehan sisi kiri. Tidak pernah salah mengikuti jalur di hadapan hingga selamat sampai tujuan. Namun sesekali, jika lelah atau bosan, cobalah keluar jalur untuk singgah. Dimanapun, terserah. Karena itu menyenangkan!

Tidak semenyenangkan jika dipikir yang tidak-tidak duluan, mungkin. Tapi apa yang tidak kita duga-duga, akan terjadi, dan menambahkan cita rasa dalam kehidupan! Percaya saja. Alami, kemudian kamu akan bilang ‘ah, benar juga katanya’.

17 Agustus 2019

Kiranya kamu tidak boleh lupa ini



Saya selalu tidak tau harus memulainya dari mana dengan kamu, jika apapun yang berkaitan dengan hanya dirimu. Apa dengan lambaian tangan hai penuh ceria, atau senyum lebar penuh kepalsuan cukup? Kata-kata pun tak dapat terangkai dengan gamblang. Karena masih banyak teka-teki yang tanpa ada jawabnya, dicari sampai ke ujung dunia bahkan terdasar samudra pun tak akan dijumpai. Kamu tau apa sebabnya? Karena sebelumnya memang tidak pernah ada pertanyaan yang butuh jawaban. Tidak ada pertanyaan yang benar-benar diajukan. Pertanyaan atau pernyataan tak ada bedanya, sebab kata hanya berngiang ria dalam angan-angan, tidak untuk diucapkan.
Kamu mungkin pernah di sana, tapi tidak benar-benar ada, walau kamu memang di sana. Entah bagaimana, sesuatu yang nyata adanya terasa sulit untuk dijelaskan. Ia hanya begitu, dan saya percaya saja. Namun yang patut diingat, angkasa itu raya. Ladang bintang di atas sana. Bukan hanya satu, beribu-ribu bisa ikut cemburu dengan apa yang kamu dan saya miliki detik itu. Atau bisa saja semesta iri dan menjadikan kita tidak lagi terdiri dari kamu dan saya. Semesta seringkali bermain curang, mengajak jarak dan waktu untuk ikut andil dalam kisah yang seharusnya hanya diperankan oleh kita. Bagaimanapun, rasa percaya akan membuat segalanya terasa baik-baik saja. Setidaknya, itu yang akan saya lakukan jika kamu masih bersedia untuk tetap di sana, bukan sekadar menjadi pernah untuk ada.
Saya kira kita butuh kata. Sekadar beberapa untuk epilog yang luar biasa. Sudah baca bagian prolognya belum? Karena jika sudah, kamu pasti akan tersentak dan temukan beberapa kata kunci yang cocok setelahnya. Atau saya yang salah mungkin, berbincang semaunya. Hanya saja bukan sekadar kata yang kita butuh, jiwa juga perlu. Harus. Kiranya kamu tidak boleh lupa, bahwa tak peduli berkali-kali semesta melenyapkan matahari dan bulanmu, seberapa banyak ia menarik jarak di antara kita, saya akan tetap di sana menunggu yang akan kembali. Saya dibuat cukup sering berandai tiap kali duduk diam dan teringat kamu melalui hal-hal kecil yang sepele dan konyol. Bagaimana jika semesta usil dengan kisah kita? Akhir yang saya inginkan, yang tidak pernah kamu bayangkan, atau mungkin yang memang ditakdirkan untuk terlaksana.
Katakan saja bahwa saya akan di sana, menjadi air di bawah jembatan penyebrangan. Ketika kamu terjatuh, disengaja atau tidak, akan pada saya. Ingat tidak, suatu hari kamu pernah bilang lebih baik tenggelam daripada renang ke tepian. Dengan senang hati saya akan menjadi air di bawah jembatan itu untukmu. Sayangnya, hingga musim-musim berganti, yang saya ketahui kamu sudah tak lagi berjalan melalui jembatan di atas air. Sudah bosan mungkin ya? Paling juga sudah kamu temukan jalan pintas di sisi lain semesta. Kamu biarkan kaki-kaki jenjang lain lewati jembatan itu, hampir setiap hari, dan kamu benar-benar sudah tidak di sana untuk berjalan di atas jembatan.
Maksud semesta mungkin bukan untuk tidak adil pada saya dan kamu, justru untuk mengadili apa yang tidak seharusnya jadi milik kita. Mereka bilang, semesta membuat jauh dua hal untuk menjadikannya lebih baik lagi hanya supaya sempurna ketika dibersamakan kembali. Mungkin begitu dengan kita, tidak kah kamu berpikiran yang sama? Ah, astaga! Saya terasa hidup untuk mendambamu dengan keterlaluan, dan itu menjijikan. Yang saya tau adalah ketika menginginkanmu disaat tangan ini menggenggam bilah pisau. Apa yang sebenarnya diinginkan dari kamu oleh saya? Ugh.


Untuk kamu,


sejak awal agustus

23 Juli 2019

Catatan: Untuk kamu sendiri



Di hari istimewa ini, ah tidak, tentu tak ada hari seistimewa itu—hanya saja saya merasa senang ketika melirik kalender dan menemukan tanggal indah di bulan kelahiran sang nona. Lalu, apa yang hendak saya katakan untuk hari ini?
Oh!
Di hari ini, apa-apa yang biasa dikira terpesona tidak akan terjadi sama.
Jadi, mari katakan apa yang tidak kita tampakkan!

Bahwa selama ini, saya uhm … sembunyikan sesuatu dalam uh … kamu tau lah, di kepala ini.

Sudah 9 tahun lamanya, dan mereka masih berkeliaran di sana. Tiada terderita rasanya, segala hal yang ada. Tiap detik lebih buruk dari kapan terakhir bertahan.
Detik pertama dalam kala, saya harap tidak akan lagi berjumpa. Saya butuh semuanya berhenti di sini sekarang juga, namun nyatanya tak dapat hanya dengan menggores luka di atas lapisan kulit yang mana lukamu sudah ada jauh di dalam sana.
Kamu pernah jatuh, pasti? Walau saya tau tidak pasti, setidaknya jatuhmu akan bangkit dengan sebuah uluran. Atau bahkan mungkin tidak. Seolah tanahnya begitu dalam, hingga tanpa sadar kamu menggali liang lahatmu sendiri.
— Yang mana lebih buruk dari menggenggam sebuah alasan.

Dalam 9 tahun sejak detik pertama, dan saya tetap seperti sedia kala. Mengapa bumi tidak menangis saja lalu dipeluk matahari? Inginnya begitu, agar semua jadi tidak baik-baik saja. Agar semua merasakan apa yang saya rasakan di tiap hitungan detik yang saya lalui.
Mereka seenaknya berkata bahwa ada hidup yang harus saya jalani, bukan yang kemarin, tetapi esok. Tanpa perlu membawa apa-apa yang kemarin membuat luka. Namun tidak bisakah kamu ciptakan lukamu sendiri? Seperti cobalah gores lengan itu; sembuh nanti, tapi tetap di sana, melekat padamu.
Satu hal yang mereka tau, saya tidak gemar mematut diri, dimanapun itu. Karena hal lain yang tidak mereka ketahui, adalah apa yang tidak pernah ingin saya patut di sana. Mengerikan.
Yang saya butuh hanyalah waktu untuk segalanya terhenti.
Sialnya, saya bahkan tak mengenal siapa diri ini separuh kala itu. Pernah suatu hari saya tersesat bukan main, pernah juga tak kasat mata, bahkan menjadi bukan apa-apa. Terlalu banyak yang salah dengan saya, itu masalahnya, bukan?

Seseorang pernah hadir sekadar mengajarkanmu bahwa hidup tidak selalu tentang dirimu. Seseorang juga pernah berkata bahwa segalanya dipersulit oleh dirimu sendiri ketika hal itu sudah baik-baik saja.
Lihat, kan? Terlalu banyak yang salah dengan dirimu, nona. Atau mungkin lebih tepatnya, kamu hanya pandai untuk menjadi buruk, ya.

Jadi, yang kita katakan adalah yang kita tidak benar rasakan, seringkali begitu, ya?
Saya benci diri saya sendiri. Dikatakan tiap malam, dengan kesaksian pendar rembulan. Atau ketika suatu kali mematut diri, lalu hantam apa yang dihadapan sampai berkeping-keping jadinya; dilumuri darah.
Saya benci untuk tidak mengatakannya, karena akan ada rentetan aksara sebab alasan tercipta nantinya. Buat mereka seolah kenal siapa saya sesungguhnya, kemudian saya semakin benci; menjadi bisa untuk mereka yang peduli.
— menjadi diri saya sendiri.

Karena apa-apa yang kamu ketahui tentang saya hanyalah beberapa kenapa yang saya beritau sebab saya ingin. Tanpa karena, yang nanti jika dapatkan katanya kamu akan terluka; yang mana sangat lebih buruk daripada miliki suatu karena.

dan yang harus terus kamu ingat, bahwa saya adalah saya
yang tidak akan berubah
yang tidak akan berhenti untuk sangat saya benci


Jadi, uhm … sesuatu yang tidak tampak sudah saya utarakan. Sekian.

Juli, 23

Nona

23 Februari 2019

Pergilah Pulang


Jarak,
dapat mempersatukan rindu, juga memisahkan jadi sendu. Seperti gula katanya. Jarak itu akan manis pada ukuran yang tepat. Tapi ini bukan tentang jarak dan rindu.
Sungguh bosan membahas rindu, apalagi bila ditunggu. Karena rindu bisa dibayar dengan kabar. Namun ada rasa yang tertinggal bila tak dituntaskan dengan pertemuan.

Pergilah pulang,
ke tanah dimana kamu dilahirkan. Menapak jejak di pasir-pasir putih pinggiran pantai. Tempat kamu berlarian mengejar awan.

Pergilah pulang,
ke bilik-bilik penuh kenangan. Kala kau rebah di antara tangis dan langit-langit bertepi. Yang memenjarakan hangatnya pelukan ibu peri bersama api abadi.

Pergilah pulang,
ke jalan panjang penuh petualang. Di atas derum mesin yang haus akan pemandangan dan keping-keping persahabatan. Tangan, kaki, gunung, lautan. Kata tak bernada.

Pergilah pulang,
ke tempat dimana rindu harus segera dibayar dengan pertemuan, bukan sekadar kabar.



— nona, pergilah pulang!

17 Februari 2019

Usai Senja




     Tangan menggapai angkasa pada kehampaan nelangsa. Senja yang dinanti tak kunjung tiba. ‘Sudahlah nona, berhenti menunggu di situ, kamu harus berjalan lagi!’ Tiap netra yang saya temui berkata begitu. Agar tak berujung pengorbanan yang menyakitkan. Saya yang berkorban? Pada siapa? Waktu yang terus bergulir dekatkan pada lukisan cakrawala atau malah waktu yang kerap menjauhkan? Saya kira tak ada yang sia-sia dibalik hari berwarna penuh makna. Ingatkan saya lagi pada satu masa usai senja. Titik temu itu seolah terasa sejengkal lebih dekat dengan kita. Saya pikir harus berwarna; namun teriring derap langkah dan hembusan napasmu, adalah pendar cahaya pada lentera minyak dalam gulita di tengah rawa. Terdengar seperti kita melangkah di tengah jelaga menyusuri bibir pantai sambil sesekali berkejaran dengan ombak kecil. Melirik pantulan cahaya rembulan dan satu bintang. Andai detik dapat kita hentikan, untuk hanya kita hidup dalam detakan detik yang kita rasakan.

8 Februari 2019

“ Petrichor “



     Hai kamu, selamat pagi. Salam dingin dari Jogja. Iya, tidak hangat, karena gemericik hujan menyambut detik pertama mata terbuka. Dingin yang ngilu menusuk tulang menandakan ada satu jiwa butuh selimut bernyawa. Kamu? Mungkin iya, jika bersedia.
     Sejak detik pertama, hujan dikenal jatuh bersama rinai yang menyimpan ribuan kenangan. Di sela-sela hujan kala itu, tersimpan kenangan kita yang masih bisa kuhirup aromanya, kunikmati sensasinya. Ditemani secangkir kopi, duduk di pinggir jendela. Bayang-bayang kamu menari bersama percikannya membelai hangat realita.
     Ada satu rintik yang selalu berhasil bawa saya kembali pada reminisensi tak bergravitasi. Yang tanda tanyanya tak diakhiri sebuah titik. Ketika hampa, seolah awan kelabu tak lagi di sana, saat pendar kejora sirna, dan saturnus kehilangan cincin antiknya. Persis seperti petrichor, kenangan darimu begitu nyata, menyakitkan untuk dirindu. Kamu tidak menyuruh saya menunggu, tidak pula saya menunggu seseorang lain selain kamu, tapi saya tak merasa apa-apa.
     Sepertinya saya yang lupa, bahwa sederas-derasnya hujan, ia akan tetap reda. Kapan saja.
     Yang saya takutkan, tak ada yang bisa saya lupakan tentang rasa yang pernah deras seperti hujan, dengan kenangan-kenangan tersimpan rapi di tiap rinainya. Atau mungkin tak ada yang perlu saya takutkan, selama itu kamu, selama itu tentang rasa yang pernah ada di sana. Jangan khawatir, saya baik-baik saja, sungguh. Sudah terbiasa tanpa kamu ribuan hari, entah sejak kali terakhir kapan itu kita bercanda tawa. Tapi tenang saja, saya tau kamu akan tetap kembali bersama satu rinai kenangan itu, persis petrichor selesai hujan.
Di sana, kamu juga harus baik-baik saja ya. Nanti saya dan kamu bertemu di satu titik temu itu, semoga tidak hujan.

-   Ini nona, sedang rindu

23 Januari 2019



Ada satu masa ketika kamu berkata ‘aku kehilangan dia’, hati saya remuk seketika. Kemudian saya yang kehilangan kamu, dan dunia saya sirna. Separuh kamu seolah hilang bersama dia. Dan saya bertanya, saya ini siapa untuk kamu? Kamu ada, tapi tidak di sini. Bersama saya, tapi tidak selalu ada. Bukan bayang-bayang. Mungkin pertanyaan saya harusnya, kamu siapa untuk saya? Saling memberi sinyal ketika kedua-duanya saling peka namun berpura-pura tidak ada apa-apa?
Kamu dan saya berbeda, itu sebabnya kamu suka. Kamu dan saya hampir persis sama, itu sebabnya kamu butuh saya. Kamu dan saya butuh kita, itu sebabnya kamu cinta.
Apa benar yang kamu maksud itu saya? Ayolah, saya meronta dalam tanda tanya, apa kamu memang punya jawaban yang setara dengan harapan saya? Karena kamu bilang untuk selalu ingat bahwa ekspektasi jauh berbeda dengan realita yang ada.

— Tulisan Agustus, 2017



17 Januari 2019

Untuk kamu ...
Yang tingkah lakunya dapat saya baca, namun kepastiannya tak pernah dapat saya temukan. Apa kamu tau bagaimana rasanya, melemparkan pertanyaan lalu menjawabnya sendiri? Saya merasa terlihat bodoh. Seperti bagaimana saya melihat kita, yang melemparkan belenggu masing-masing, tapi tak pernah saling menerima bagai halnya magnet searah. Saya tau rasa itu milik saya. Saya juga yakin bahwa kamu pasti tau jika rasa saya adalah milikmu.
Terkadang, saya bertanya, kenapa seseorang harus saling memberi sinyal ketika kedua-duanya malah tidak saling peka? Apa kita tidak bisa saling memberitau?
Saya sangat ingin, tapi saya tak tau bagaimana caranya harus memulai. Dan saya juga bertanya, haruskah saya? Ataukah kamu? Apa yang salah dengan kita?
Kita bukan kesalahan. Apa memang benar apa kata orang? Terlalu dekat juga tidak bagus. Saling menunggu padahal saling memiliki. Tapi malah kedekatan itu yang menjadi penghalang paling besar.
Bertanya lagi, apa yang akan terjadi setelah kita saling mengetahui?
Bertanya lagi, apa yang akan terjadi jika tidak hanya aku yang terlibat, tetapi juga orang lain?


— Tulisan Mei, 2017