Hai kamu, selamat pagi. Salam dingin dari Jogja. Iya,
tidak hangat, karena gemericik hujan menyambut detik pertama mata terbuka.
Dingin yang ngilu menusuk tulang menandakan ada satu jiwa butuh selimut
bernyawa. Kamu? Mungkin iya, jika bersedia.
Sejak detik pertama, hujan dikenal jatuh
bersama rinai yang menyimpan ribuan kenangan. Di sela-sela hujan kala itu,
tersimpan kenangan kita yang masih bisa kuhirup aromanya, kunikmati sensasinya.
Ditemani secangkir kopi, duduk di pinggir jendela. Bayang-bayang kamu menari
bersama percikannya membelai hangat realita.
Ada satu rintik yang selalu berhasil bawa
saya kembali pada reminisensi tak bergravitasi. Yang tanda tanyanya tak
diakhiri sebuah titik. Ketika hampa, seolah awan kelabu tak lagi di sana, saat
pendar kejora sirna, dan saturnus kehilangan cincin antiknya. Persis seperti
petrichor, kenangan darimu begitu nyata, menyakitkan untuk dirindu. Kamu tidak
menyuruh saya menunggu, tidak pula saya menunggu seseorang lain selain kamu,
tapi saya tak merasa apa-apa.
Sepertinya saya yang lupa, bahwa
sederas-derasnya hujan, ia akan tetap reda. Kapan saja.
Yang saya takutkan, tak ada yang bisa saya
lupakan tentang rasa yang pernah deras seperti hujan, dengan kenangan-kenangan
tersimpan rapi di tiap rinainya. Atau mungkin tak ada yang perlu saya takutkan,
selama itu kamu, selama itu tentang rasa yang pernah ada di sana. Jangan
khawatir, saya baik-baik saja, sungguh. Sudah terbiasa tanpa kamu ribuan hari,
entah sejak kali terakhir kapan itu kita bercanda tawa. Tapi tenang saja, saya
tau kamu akan tetap kembali bersama satu rinai kenangan itu, persis petrichor
selesai hujan.
Di sana, kamu juga harus baik-baik saja ya. Nanti saya
dan kamu bertemu di satu titik temu itu, semoga tidak hujan.
- Ini nona, sedang
rindu
Semoga bertemu dan tidak hujan
BalasHapus