Diskusi Biru

apa-apa untuk siapa saja, selalu dari sang Nona :)

6 Oktober 2022

Lembaran yang Tertulis Kembali


Lembar-lembar buram itu lenyap dilahap rayap. Hangus dibawa arus waktu, yang tak dapat terulang kembali.

Tertentang, masih ada lembar-lembar lain.

Tertulis kembali di dalamnya; hal-hal yang harusnya tak lagi muncul ke permukaan. Atau mungkin memang sudah semestinya rekonsiliasi?

Lembaran itu punya nomor halaman. Selagi napas tiada tersendat, kisahnya tak akan tamat. Isinya hanyalah kisah-kisah yang jujur nan tulus, dengan sedikit bagian kelam bersayat luka, terselip rindu dan pengharapan, serta bagian yang penuh tanda tanya. Sesekali patah, basah, dirobek dan hilang. Kali ini, tertulis kembali.

Suatu kisah yang dalam lembaran ini mengingatkan pada hal yang sama, yang bermula di suatu masa.

‘Berawal dari beberapa pemikiran’.

Mengakar dalam jiwa, dari benih-benih perandaian dan tanda tanya yang tumbuh rimbun penuhi kandangnya. Menyeruak kian beringas, lahap segala yang tak kasat mata, ambil alih singgasana empunya.

Segala yang bermula dari jiwa pasti akan meretas raga juga pada akhirnya. Keluar, dari bagian terdalam—karena belum adanya kepuasan pada satu ruang, karena masih banyaknya tanda tanya yang belum berganti titik tegas.

Benar kata hati yang unggul dalam mentitah benak; bahwa hakikat keduanya seragam; berbuah getir juwita juga atas segala-galanya. Namun, kali ini hari-hariku lebih dikuasai benak sendiri.

Atas apa-apa yang bukan kuasaku; belum waktunya untuk terungkap, atau nanti kan memburai jua, begitu datang ia berkecamuk menyerang batin bagai badai topan kelam yang menyengkak tak karuan. Terulang kembali, di tahun ini. Gerimis diluar yang mampir, badai berlalu-lalang di dalam seakan tak temukan pintu keluarnya.

Aku ini, yang biasanya ikuti isi hati, kini terpenjara, oleh isi kepala sendiri.

Entah bermula di garis mana. Begitu banyak tanya yang nihil jawaban. Menerka pun sia-sia. Waktu terbuang, hal yang sama kian mengulang. Tak kusangka, hal terganas dalam hidup adalah pikiran sendiri. Terkungkung di dalamnya membuat jiwaku rusak, menjalar ke seluruh organ tubuh. Raga yang semula baik-baik malah tiba-tiba terkapar tak berdaya. Semua yang bersumber pada satu titik saja.

Badai topan dalam pikiran sendiri selalu berusaha kulalui, tiap menit di tiap hari-hari. Semua kuupayakan; bergerak kesana-kemari, bertemu kawan, menyegarkan fisik, mengejar yang hampir terlewat dan melakukan segala yang belum pernah dilakukan, bahkan yang seharusnya tidak dilaksanakan.

Mencari jalan untuk hilang ingatan, bisa dibilang. Sungguh lah berisik. Teramat sangat berisik.

Ini benar-benar buruk. Samasekali bukan hal sepele.

Ternyata, pikiran manusia memang bisa jadi kawan maupun lawan. Dan kini, aku habis babak-belur dihantam pikiran yang sedang menjadi lawan diriku sendiri. Perawatan dibutuhkan cukup lama, dan obat-obatan tak kan selamanya mengulurkan tangan. Pun olahraga terasa percuma, karena yang sedang sekarat bukan sekujur badan.

Semua itu, harus dimulai dari aku dan pikiranku yang wajib untuk berdamai dahulu.

Hingga kemudian, setelah kembali berkawan, pasti akan ada masa dimana keduanya tak sama haluan; berlawanan. Tiada mengapa, sedikit pun bukan masalah. Karena aku, tentu akan tau bagaimana harus menghadapi lawanku, sebab ialah kawanku yang paling kukenal.

Bagaimana jika tidak begitu mengenal kawanmu sendiri?

Kau menaruh perhatian padanya; mengamati dan menerima, lantas kau lah kawan terbaik yang paling mengenalnya.

Sampai suatu hari lagi, yang berkawan kembali menjadi lawan, hingga berkawan kemudian, dan begitu seterusnya.

 

 

p.s. : hati-hati sama pikiran sendiri!

23 September 2022

Berjejak

 Chapter Twenty Two

     who were you

       before they broke your heart?

 

 

Suatu malam,

aku berkendara dengan tiap sisa-sisa asa dari malam-malam kemarin. Sendiri saja. Membelah angin yang mengarahkanku kesana dan kemari. Mataku memandangnya buram, seluruh cahaya yang mengiringi perjalanan. Suasana yang tak pernah terasa asing, kini kembali menemaniku.

Di malam-malam kemudian, kucoba sapa satu per satu bayanganku dengan senyuman. Di sudut kota itu, kala angkara dibasuhi hujan deras sampai ia luruh. Di bawah jagat sarwa, mengharap bintang jatuh yang kemudian bisikkan doa bukan air mata. Di pinggiran lipatan jingga yang hampir terlewati pada suatu sore yang membahagiakan. Tapi bagian yang paling kusuka adalah ketika berbincang dengan binar matamu di bawah sinar rembulan.

Dan malam ini hanya tersisa aroma benang raja yang masih mendebarkan sanubari.

 

Tapi di suatu pagi,

aku bukanlah aku yang itu.

Saling tabrak melawan arah angin yang malas tuk berhembus, tak membawaku kemana-mana. Tanpa cahaya ku sudah terbiasa, tanpamu juga. Hanya terdiam, di bawah langit-langit yang kaku. Mengawang. Dunia yang ada di dalam kepala terasa jauh lebih luas dari dunia yang membentang luas cakrawala. Sempat lupa tuk kembali menapak, hingga tiba-tiba jatuh dan terluka. Beribu biru. Yang merah sepertinya sudah lama pecah, bagai bunga api yang panas semakin mengecil, kecil, dan padam. Sirna. Sisanya hitam. Dingin.

Sempat kutanya Tuhan, lagi, aku ini sedang kenapa?

Menangis, merintih, dan sedih. Bahkan tawa tak lagi bisa dipaksa tuk tutupi luka.

 

Bukan raga katanya, tapi ada yang pelan-pelan rusak di dalam sini.

Sesuatu yang gusar, yang muak, terlalu sering dibungkam, dikubur dalam-dalam. 

 

Selalu kuharapkan, akan berbeda nanti, saat yang kulihat tetaplah sama seperti sedia kala. Tidak berganti, tertukar, tak pernah berubah. Sungguh-sungguh, telah kutendang jauh dari dalam sistemku. Tiada disangka, kausal ternyata—yang kan terus melakukan perubahan berangsur-angsur.

Sebagian reminisensi tak kan pernah tanggal dari tulang-tulang, umpama garam di laut; mereka menjadi bagian dari dirimu, yang kan kau bawa.

Nyatanya, aku adalah aku. Tetap dan masih sama. Aku yang ini, dan aku yang itu.

 

you can’t forget someone when

you’re still hoping for them to come back.

[will I ever stop hoping?]