Apa yang patah?
Benih yang ditanam, kemudian tumbuh
dan dipatahkan.
Skeptis, akan harus atau tidaknya
ditanam dalam tanah basah bekas hujan kemarin sore. Benihnya tidak harus
diterima sebenarnya, namun jika diingat-ingat lagi, itu kamu yang berikan
benihnya secara paksa. Membuatnya tumbuh hanya untuk menjadi tidak indah karena
patah oleh tanganmu.
“atau mungkin, kamu yang nggak
sadar, nona. Itu patah karena tanganmu menggenggam terlalu keras.”
Ah, hancur sebelum waktunya dimulai,
begitu? Tidak jarang terjadi.
“We often want it so badly that we
ruin it before it begins.
Overthinking. Fantasizing.
Imagining. Expecting. Worrying. Doubting.
Just let it naturally evolve.”
Jadi, semua memang akan baik-baik saja
jika benih itu tak pernah ada sejak awal; entah diberi atau diterima cuma-cuma,
begitu ya …
Mungkin memang saya yang terlalu
sering kalut dalam pikiran sampai dibuat tenggelam. Mungkin karena saya terlalu
sering memberi orang lain kesempatan lebih dari yang patut mereka terima.
Mungkin saya terlalu percaya dengan pikiran ini; bahwa mereka akan melakukan
suatu hal untuk saya seperti saya melakukan sesuatu pada mereka dengan sepenuh
hati.
“Lepaskan saja ekspektasi terhadap
orang-orang itu, nona. Nggak ada hal yang lebih menyakitkan dari merasa kecewa
dengan seseorang yang kita harapkan
untuk memberi lebih. Ujung-ujungnya jadi patah sendiri, kan?”
Mungkin, maksud lainnya begini: always
hope, but never expect. Expectation hurts, tau sendiri kan?
Sadar, nggak? Kecewa itu hasil dari
sebuah ekspektasi yang gagal. Supaya nggak merasa begitu kecewa, kurangi
ekspektasi atau tuntut lebih dari dirimu sendiri. Nah lho, kira-kira bisa nggak
tuh?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar