(Sekalipun perasaan yang kuat akan sirna jikalau terabai begitu saja.)
Terkadang, pertanyaan ini terulang
di kepala saya: kenapa seseorang harus saling memberi sinyal ketika
kedua-duanya malah tidak saling peka? Apa kita tidak bisa saling memberitau
saja?
Tingkah laku yang dapat saya baca,
tapi kepastiannya tak pernah saya terima.
Tuan, seseorang mengetuk pintu. Saya
mengajaknya masuk dan suguhkan secangkir kopi panas, di ruang tamu kami
mengobrol sebentar, sampai kemudian tiba-tiba hujan.
Seharusnya, bukan kopi panas.
Harusnya hanya teh hangat. Supaya cepat ditenggak habis, tidak perlu ada
percakapan lama di sela-sela hujan. Kita sedikit terlalu lama menatap bola mata
satu sama lain yang berpendar hingga tersadar, “kita sedang apa?”.
Usai hujan, seakan saya terjebak
dalam percakapan bermenit-menit lalu, padahal ia sudah beranjak pergi. Aroma
petrichor tak lagi sama. Mungkin ia memang seharusnya ada di sini, jangan pergi
setelah hujan.
Saya selalu tidak kemana-mana, tapi
dikatanya saya sudah hilang. Padahal saya tetap di mana sedia kala, ia katakan
saya tak dapat ditemukan.
Yang tak disadarinya adalah, tak
pernah ia mencari, tak begitu ia pahami—seakan percakapan hujan kemarin
hanyalah sebuah singgah di rumah yang entah; kebetulan ada tertangkap bola matanya
kemudian lenyap ditelan setra.
Tuan, saya jadi tersadar kemudian,
kenapa saya harus selalu ada untuk mereka yang sekadar ‘paruh waktu’ ada untuk
saya?
p.s.: Dan kini, rasanya saya bahkan lupa
bahwa kamu pernah ada.
Karena ia membuatmu merasa dijauhi?
Mungkin hanya karena kamu terlalu
‘perasa’.