— with the ghost of you
Hanya butuh waktu selama 3 hari untuk
mengenang hadirmu.
Lalu ketidakhadiranmu terhitung setahun
setelah 3 bulan ke depan berhasil saya lewati.
Kamu, yang tidak pernah saya pinta sebuah
kata hadirnya. Atau mungkin, lupa. Begitu banyak kata-kata yang saya lupakan
begitu saja, katakan lah sengaja. Dikatakan atau tidaknya, kamu tetap tiada
lagi entah di mana pun itu. Truth always hurts, huh? Mengingatnya saja
buat saya lebih baik tidak mengingat apa-apa.
Kamu, yang hadirnya tak pernah saya anggap
sebagai ada.
Seseorang yang hanya saya yang kenal. Atau
mungkin dia, dan dia, beberapa teman dekat yang mengharap pertemuan dengan
adanya dirimu. Mereka, yang mendengar ocehan jengkel mulut saya ketika jauh
darimu. Saya yang dapat tiket gratis bersamamu bahkan berusaha membuang tiket
itu. Dan sekarang, saya merasa jadi manusia paling bodoh. Atau mungkin begitu
pikir semua orang sewaktu ditinggalkan.
Some people don’t know what they have
until it’s gone.
Yep. Ga ada yang salah dari susunan kata
itu. Karena setelah tiada, saya sadar akan hal-hal yang seharusnya tidak saya
abaikan. Faktanya memang seperti itu ya. Siapapun, tetap saja, kita akan
menyadari sesuatu itu berharga until it’s gone. Betapa lucu fakta yang
satu itu.
Saya selalu mengatakan pada diri sendiri; maafkan
dirimu atas apa yang tidak kamu ketahui. Tapi … bisakah? Semudah itu? Saya
ga pernah tau kamu akan pulang ke rumah secara tiba-tiba, dan di perjalananmu
yang hendak menghampiri saya di tanah rantau, kamu malah dijemput Yang Maha
Kuasa. Dengan cara yang tak pernah terlintas dalam bayang-bayang siapapun.
Lalu, akan semudah itu kah saya memaafkan diri sendiri atas kepergianmu?
Waktu itu, saya sedang berada jauh dalam
jurang gelap, bertengkar dengan hidup dan dunia, ketika masuk telepon dari
mereka. Menyesal sekali rasanya saya angkat telepon itu. Katanya kamu sudah
tidak ada lagi, di mana pun itu. Dan yang bisa saya lakukan hanya diam. Semakin
tenggelam jauh dalam kegelapan. Ingat sekali akan saya yang kebingungan, harus
kah menangis atau … apa? Apa yang harus saya lakukan? Benar-benar gila rasanya
membohongi diri sendiri dari kenyataan di depan mata. Seolah saya tak pernah
jatuh ke dalam jurang gelap itu, seolah tak pernah terima telepon dari
siapapun.
Di akhir pekan, antara menyelesaikan Juli
dan menyambut Agustus, saya menghabiskan waktu di kampung halaman Mbah, tempat
kelahiranmu. And because of it, kamu terasa kembali hadir. Di sana, di
tiap-tiap sudut yang saya hampiri. Sore itu, jalan-jalan keliling kampung
seorang diri, hingga sampai di pemakaman. Mata saya mencari keberadaanmu, hati
saya ingin sekali ke sana, menepuk pundakmu atau bahkan menabrak tubuh besarmu
seperti yang biasa saya lakukan dengan sengaja, namun kedua kaki seolah
tertanam dalam-dalam ke tanah. I’m just standing still. Pengecut sekali.
Sungguh, ini kali pertamanya saya, yang mencari adanya dirimu.
Merindukanmu, datang seperti ombak.
Saya dibuat tenggelam selama 3 hari
berturut-turut.
Memori-memori mencuat keluar dari sudut
mata dan jatuh basahi pipi.All I do is silence. Karena
ocehan-ocehan saya di belakang kamu terus membisiki, jejeritan. Seolah minta
untuk dilepaskan saja, dan lupakan. Namun semakin mencoba, rasanya semakin
sulit. Semakin banyak yang muncul dalam laci memori. Tiap kali saya benci
adanya dirimu dengan celoteh memuakkan telinga, padahal saya tau maksudmu untuk
membangun, membantu saya untuk berdiri dan berlari.
Kamu
selalu begitu, dengan tingkah kekanakan yang menjengkelkan. Kamu jauh lebih tua
dari saya, tapi tetap saja lengkinganmu memecah gendang telinga tiap kali tikus
kecil numpang lewat, atau kecoa. Tingkahmu terlalu kekanak-kanakan dengan tubuh
besar itu, terlalu bodo amat menimpa tubuh saya hanya untuk minta perlindungan.
Selalu cari perhatian. Sungguh itu adalah sesuatu yang sangat menjengkelkan
buat saya. Dan mungkin itulah alasan saya membencimu. Padahal, kalau boleh
jujur, saya tidak benci siapapun bahkan kamu. Andai kamu tau ini lebih dulu.
Nyatanya, saya hanya mengungkapnya dalam sebuah tulisan yang tidak akan pernah
kamu baca.
Sejujurnya,
saya teramat merasa sengsara, tiap berada di dekat mereka. Mereka, siapa saja,
yang tiba-tiba mengingatmu ketika melihat saya. Kemudian ingatan-ingatan itu
hadir dan dituang ke dalam cerita sebagai topik obrolan. Seakan kamu masih di
antara semuanya. Seakan kamu sedang duduk di atas Kawasaki Ninja dengan full
airbrush Yamaha Movistar yang kompak memodifikasinya bareng abangmu.
Sayang, knalpotnya emas bukan hitam, terlalu mencolok, karena kamu menutup
telinga dari saran saya.
Tidak
perlu ditebak, tapi saya tau; pasti akan selalu teringat kamu. Yang selalu
blak-blakan. Selalu marah jika tidak di dengar, atau karena kamu sendiri yang salah.
Selalu berceloteh panjang lebar, yang semuanya terdengar sebagai omong kosong
di telinga saya, padahal yang keluar dari mulutmu tidak selamanya salah. Memang
selalu ada saat dimana kamu menjadi seorang dewasa seolah bukan dirimu yang
biasanya, atau mungkin memang saat itu adalah kamu, yang tidak banyak diketahui
orang lain. Bahkan saya sendiri.
Satu hal. Tak ada amarah yang tersimpan
dalam hati saya karena mendengarkan saran yang kamu berikan, perihal iya atau
tidaknya. Saya menjalani apa yang memang harus dijalani, karena kamu lebih tau
apa yang seharusnya untuk saya. Tidak. Saya benar-benar tak menyimpan dendam
atau apalah itu. Saya rasa, kamu berusaha menunjukan hidup dari sudut
pandangmu. Kalimat darimu selalu punya maksud tertentu, saya tau itu. Bahkan,
senang rasanya mendengarkan saran darimu waktu itu dan melakukannya. Apa yang
terjadi, terjadilah. Semuanya selalu disertai maksud, begitu kan yang berusaha
kamu sampaikan?
Di
sini, seolah saya masih duduk menunggu kedatanganmu dengan oleh-oleh yang
selalu saya minta seminggu sebelum kamu pulang ke rumah.
I just … never ready for you to leave.
Saya hanya punya cara saya sendiri untuk mengenang hadirmu. Perasaan itu kerap hadir. Sebuah kata sesal dan rasa
bersalah yang teramat. Karena tiap kali kamu diam-diam menggunakan ponsel saya
untuk berfoto, selalu saya hapus dengan santainya. Satu pun, tak ada potret
yang dapat membantu saya mengenang akan bagaimana rupa wajahmu tiap tahunnya. Hanya
dengan cara saya sendiri.
p.s.
: would you tell me that you miss me back?
Mengalir juga apa yg anda rasa melalu sela kedipan mata mengalir hingga pipi, terimakasih sy merasakan itu
BalasHapus