Diskusi Biru

apa-apa untuk siapa saja, selalu dari sang Nona :)

3 Agustus 2020

Pememorian


with the ghost of you



     Hanya butuh waktu selama 3 hari untuk mengenang hadirmu.
     Lalu ketidakhadiranmu terhitung setahun setelah 3 bulan ke depan berhasil saya lewati.


     Kamu, yang tidak pernah saya pinta sebuah kata hadirnya. Atau mungkin, lupa. Begitu banyak kata-kata yang saya lupakan begitu saja, katakan lah sengaja. Dikatakan atau tidaknya, kamu tetap tiada lagi entah di mana pun itu. Truth always hurts, huh? Mengingatnya saja buat saya lebih baik tidak mengingat apa-apa.
     Kamu, yang hadirnya tak pernah saya anggap sebagai ada.
     Seseorang yang hanya saya yang kenal. Atau mungkin dia, dan dia, beberapa teman dekat yang mengharap pertemuan dengan adanya dirimu. Mereka, yang mendengar ocehan jengkel mulut saya ketika jauh darimu. Saya yang dapat tiket gratis bersamamu bahkan berusaha membuang tiket itu. Dan sekarang, saya merasa jadi manusia paling bodoh. Atau mungkin begitu pikir semua orang sewaktu ditinggalkan.
     Some people don’t know what they have until it’s gone.
     Yep. Ga ada yang salah dari susunan kata itu. Karena setelah tiada, saya sadar akan hal-hal yang seharusnya tidak saya abaikan. Faktanya memang seperti itu ya. Siapapun, tetap saja, kita akan menyadari sesuatu itu berharga until it’s gone. Betapa lucu fakta yang satu itu.
     Saya selalu mengatakan pada diri sendiri; maafkan dirimu atas apa yang tidak kamu ketahui. Tapi … bisakah? Semudah itu? Saya ga pernah tau kamu akan pulang ke rumah secara tiba-tiba, dan di perjalananmu yang hendak menghampiri saya di tanah rantau, kamu malah dijemput Yang Maha Kuasa. Dengan cara yang tak pernah terlintas dalam bayang-bayang siapapun. Lalu, akan semudah itu kah saya memaafkan diri sendiri atas kepergianmu?
     Waktu itu, saya sedang berada jauh dalam jurang gelap, bertengkar dengan hidup dan dunia, ketika masuk telepon dari mereka. Menyesal sekali rasanya saya angkat telepon itu. Katanya kamu sudah tidak ada lagi, di mana pun itu. Dan yang bisa saya lakukan hanya diam. Semakin tenggelam jauh dalam kegelapan. Ingat sekali akan saya yang kebingungan, harus kah menangis atau … apa? Apa yang harus saya lakukan? Benar-benar gila rasanya membohongi diri sendiri dari kenyataan di depan mata. Seolah saya tak pernah jatuh ke dalam jurang gelap itu, seolah tak pernah terima telepon dari siapapun.
     Di akhir pekan, antara menyelesaikan Juli dan menyambut Agustus, saya menghabiskan waktu di kampung halaman Mbah, tempat kelahiranmu. And because of it, kamu terasa kembali hadir. Di sana, di tiap-tiap sudut yang saya hampiri. Sore itu, jalan-jalan keliling kampung seorang diri, hingga sampai di pemakaman. Mata saya mencari keberadaanmu, hati saya ingin sekali ke sana, menepuk pundakmu atau bahkan menabrak tubuh besarmu seperti yang biasa saya lakukan dengan sengaja, namun kedua kaki seolah tertanam dalam-dalam ke tanah. I’m just standing still. Pengecut sekali. Sungguh, ini kali pertamanya saya, yang mencari adanya dirimu.

     Merindukanmu, datang seperti ombak.
     Saya dibuat tenggelam selama 3 hari berturut-turut.
     Memori-memori mencuat keluar dari sudut mata dan jatuh basahi pipi.All I do is silence. Karena ocehan-ocehan saya di belakang kamu terus membisiki, jejeritan. Seolah minta untuk dilepaskan saja, dan lupakan. Namun semakin mencoba, rasanya semakin sulit. Semakin banyak yang muncul dalam laci memori. Tiap kali saya benci adanya dirimu dengan celoteh memuakkan telinga, padahal saya tau maksudmu untuk membangun, membantu saya untuk berdiri dan berlari.
Kamu selalu begitu, dengan tingkah kekanakan yang menjengkelkan. Kamu jauh lebih tua dari saya, tapi tetap saja lengkinganmu memecah gendang telinga tiap kali tikus kecil numpang lewat, atau kecoa. Tingkahmu terlalu kekanak-kanakan dengan tubuh besar itu, terlalu bodo amat menimpa tubuh saya hanya untuk minta perlindungan. Selalu cari perhatian. Sungguh itu adalah sesuatu yang sangat menjengkelkan buat saya. Dan mungkin itulah alasan saya membencimu. Padahal, kalau boleh jujur, saya tidak benci siapapun bahkan kamu. Andai kamu tau ini lebih dulu. Nyatanya, saya hanya mengungkapnya dalam sebuah tulisan yang tidak akan pernah kamu baca.
Sejujurnya, saya teramat merasa sengsara, tiap berada di dekat mereka. Mereka, siapa saja, yang tiba-tiba mengingatmu ketika melihat saya. Kemudian ingatan-ingatan itu hadir dan dituang ke dalam cerita sebagai topik obrolan. Seakan kamu masih di antara semuanya. Seakan kamu sedang duduk di atas Kawasaki Ninja dengan full airbrush Yamaha Movistar yang kompak memodifikasinya bareng abangmu. Sayang, knalpotnya emas bukan hitam, terlalu mencolok, karena kamu menutup telinga dari saran saya.
Tidak perlu ditebak, tapi saya tau; pasti akan selalu teringat kamu. Yang selalu blak-blakan. Selalu marah jika tidak di dengar, atau karena kamu sendiri yang salah. Selalu berceloteh panjang lebar, yang semuanya terdengar sebagai omong kosong di telinga saya, padahal yang keluar dari mulutmu tidak selamanya salah. Memang selalu ada saat dimana kamu menjadi seorang dewasa seolah bukan dirimu yang biasanya, atau mungkin memang saat itu adalah kamu, yang tidak banyak diketahui orang lain. Bahkan saya sendiri.
     Satu hal. Tak ada amarah yang tersimpan dalam hati saya karena mendengarkan saran yang kamu berikan, perihal iya atau tidaknya. Saya menjalani apa yang memang harus dijalani, karena kamu lebih tau apa yang seharusnya untuk saya. Tidak. Saya benar-benar tak menyimpan dendam atau apalah itu. Saya rasa, kamu berusaha menunjukan hidup dari sudut pandangmu. Kalimat darimu selalu punya maksud tertentu, saya tau itu. Bahkan, senang rasanya mendengarkan saran darimu waktu itu dan melakukannya. Apa yang terjadi, terjadilah. Semuanya selalu disertai maksud, begitu kan yang berusaha kamu sampaikan?

Di sini, seolah saya masih duduk menunggu kedatanganmu dengan oleh-oleh yang selalu saya minta seminggu sebelum kamu pulang ke rumah.

     I just … never ready for you to leave.


     Saya hanya punya cara saya sendiri untuk mengenang hadirmu. Perasaan itu kerap hadir. Sebuah kata sesal dan rasa bersalah yang teramat. Karena tiap kali kamu diam-diam menggunakan ponsel saya untuk berfoto, selalu saya hapus dengan santainya. Satu pun, tak ada potret yang dapat membantu saya mengenang akan bagaimana rupa wajahmu tiap tahunnya. Hanya dengan cara saya sendiri.





p.s. : would you tell me that you miss me back?

1 komentar:

  1. Mengalir juga apa yg anda rasa melalu sela kedipan mata mengalir hingga pipi, terimakasih sy merasakan itu

    BalasHapus