Diskusi Biru

apa-apa untuk siapa saja, selalu dari sang Nona :)

23 Februari 2019

Pergilah Pulang


Jarak,
dapat mempersatukan rindu, juga memisahkan jadi sendu. Seperti gula katanya. Jarak itu akan manis pada ukuran yang tepat. Tapi ini bukan tentang jarak dan rindu.
Sungguh bosan membahas rindu, apalagi bila ditunggu. Karena rindu bisa dibayar dengan kabar. Namun ada rasa yang tertinggal bila tak dituntaskan dengan pertemuan.

Pergilah pulang,
ke tanah dimana kamu dilahirkan. Menapak jejak di pasir-pasir putih pinggiran pantai. Tempat kamu berlarian mengejar awan.

Pergilah pulang,
ke bilik-bilik penuh kenangan. Kala kau rebah di antara tangis dan langit-langit bertepi. Yang memenjarakan hangatnya pelukan ibu peri bersama api abadi.

Pergilah pulang,
ke jalan panjang penuh petualang. Di atas derum mesin yang haus akan pemandangan dan keping-keping persahabatan. Tangan, kaki, gunung, lautan. Kata tak bernada.

Pergilah pulang,
ke tempat dimana rindu harus segera dibayar dengan pertemuan, bukan sekadar kabar.



— nona, pergilah pulang!

17 Februari 2019

Usai Senja




     Tangan menggapai angkasa pada kehampaan nelangsa. Senja yang dinanti tak kunjung tiba. ‘Sudahlah nona, berhenti menunggu di situ, kamu harus berjalan lagi!’ Tiap netra yang saya temui berkata begitu. Agar tak berujung pengorbanan yang menyakitkan. Saya yang berkorban? Pada siapa? Waktu yang terus bergulir dekatkan pada lukisan cakrawala atau malah waktu yang kerap menjauhkan? Saya kira tak ada yang sia-sia dibalik hari berwarna penuh makna. Ingatkan saya lagi pada satu masa usai senja. Titik temu itu seolah terasa sejengkal lebih dekat dengan kita. Saya pikir harus berwarna; namun teriring derap langkah dan hembusan napasmu, adalah pendar cahaya pada lentera minyak dalam gulita di tengah rawa. Terdengar seperti kita melangkah di tengah jelaga menyusuri bibir pantai sambil sesekali berkejaran dengan ombak kecil. Melirik pantulan cahaya rembulan dan satu bintang. Andai detik dapat kita hentikan, untuk hanya kita hidup dalam detakan detik yang kita rasakan.

8 Februari 2019

“ Petrichor “



     Hai kamu, selamat pagi. Salam dingin dari Jogja. Iya, tidak hangat, karena gemericik hujan menyambut detik pertama mata terbuka. Dingin yang ngilu menusuk tulang menandakan ada satu jiwa butuh selimut bernyawa. Kamu? Mungkin iya, jika bersedia.
     Sejak detik pertama, hujan dikenal jatuh bersama rinai yang menyimpan ribuan kenangan. Di sela-sela hujan kala itu, tersimpan kenangan kita yang masih bisa kuhirup aromanya, kunikmati sensasinya. Ditemani secangkir kopi, duduk di pinggir jendela. Bayang-bayang kamu menari bersama percikannya membelai hangat realita.
     Ada satu rintik yang selalu berhasil bawa saya kembali pada reminisensi tak bergravitasi. Yang tanda tanyanya tak diakhiri sebuah titik. Ketika hampa, seolah awan kelabu tak lagi di sana, saat pendar kejora sirna, dan saturnus kehilangan cincin antiknya. Persis seperti petrichor, kenangan darimu begitu nyata, menyakitkan untuk dirindu. Kamu tidak menyuruh saya menunggu, tidak pula saya menunggu seseorang lain selain kamu, tapi saya tak merasa apa-apa.
     Sepertinya saya yang lupa, bahwa sederas-derasnya hujan, ia akan tetap reda. Kapan saja.
     Yang saya takutkan, tak ada yang bisa saya lupakan tentang rasa yang pernah deras seperti hujan, dengan kenangan-kenangan tersimpan rapi di tiap rinainya. Atau mungkin tak ada yang perlu saya takutkan, selama itu kamu, selama itu tentang rasa yang pernah ada di sana. Jangan khawatir, saya baik-baik saja, sungguh. Sudah terbiasa tanpa kamu ribuan hari, entah sejak kali terakhir kapan itu kita bercanda tawa. Tapi tenang saja, saya tau kamu akan tetap kembali bersama satu rinai kenangan itu, persis petrichor selesai hujan.
Di sana, kamu juga harus baik-baik saja ya. Nanti saya dan kamu bertemu di satu titik temu itu, semoga tidak hujan.

-   Ini nona, sedang rindu