Kau memintaku untuk selalu menjaga hatiku,
agar tak ada sosok lain yang mampu mengisinya. Bersusah payah kulakukan itu,
namun sebuah kata tak terduga berbisik halus di telinga. Dia ragu. Satu kata
yang membuatku berpikir ribuan kali banyaknya, duduk berlama-lama di bawah
pohon hanya bertemankan alunan indi melankolia. Yang membawaku terhanyut pada
aksaramu yang mengalir deras hingga ke bagian ujung tebing dan menghempaskannya
begitu saja, ciptakan cipratan yang menyentak dan membangunkanku menuju
realita. Alangkah ingin kupahami dirimu. Ikut menyelam ke dalam frasa di sudut senja
yang seringkali membuatku merasa berdiri di tengah semu dan kenyataan. Lalu apa
namanya? Bukankah itu hanya sekadar fatamorgana? Ingin kugapai dirimu. Genggam
tanganmu dan ikut berjalan, menapak tanah di bawah naungan langit biru yang
satu. Pun berkali-kali kau ingatkan aku untuk tak peduli pada apapun itu dan
hanya yakini diriku, mohon maaf saja, aku sungguh tak bisa. Aku senang,
sungguh. Namun, bagaimana perihal asa di ujung masa? Jikalau aku tak lagi ada
untuk kau mengasa dan menjadi tempatmu kembali pulang, apalah dayamu? Mungkin
satu-satunya cara terampuh adalah dengan berdoa, selalu meminta kepada Yang
Maha Kuasa. Namun, lagi, berkali-kali, dia ragu. Satu kata yang terus mengisi
relung hati merambat ke jiwa ini. Aku tak bisa melakukan hal persis seperti
yang kau lakukan padaku. Saling memahami? Kau seolah rumus baru yang kupelajari
mati-matian agar dapat nilai sempurna. Yang buatku meneguk bergelas kopi di
kala fajar dan senja supaya tetap terjaga dan terus memahaminya. Aku bukanlah
seperti tokoh fiksi dalam novel romansa, bukan pula ilmuwan atau pujangga. Aku
hanyalah sekeping pilu tergores biru yang dibalut oleh ragu-ragu.
— Jogja, 14:45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar