Sore itu, kami duduk
di beranda, bercerita di bawah hujan yang mendera dan pasang telinga juga.
Semesta menyaksikan sambil tersenyum. ‘Jangan terlalu lama, nanti semakin
terluka’, katanya. Sebelum itu, kuseruput teh hangat dengan sentuhan manis
aksaramu. Sembari berpikir sesekali. Membayangkan, andai saja waktu berhenti
kala itu. Kala rinai hujan jatuhkan rindu dan hadirkan masa lalu. Selalu saja
ditemani nostalgia. Rasa bercampur aduk di satu waktu. Persetan dengan
perasaan. Aku hanya ingin mendengar celotehmu di sela-sela hujan. Berselimut
dingin yang memilukan, namun hatiku begitu hangat oleh hadirmu di ruang waktu.
Sesekali, ingin kujadikan kisah ini bagai roman picisan yang dapat mengalahkan
legenda Romeo dan Juliet.
Apalah daya, hujan
pamit membawamu pergi. Meninggalkan aroma petrichor yang semerbaknya begitu
menusuk. Segera kuhabiskan secankir teh yang mulai mendingin, berniat untuk
masuk saja ke kamar; tutup pintu rapat-rapat dan terpejam. Bodohnya, aku malah
berlari menginjak tiap genangan air sisa-sisa hujan yang mengandung tiap bait
aksaramu. Malah kuhirup dalam-dalam petrichor di tiap sudut kota, menjadi candu
pilu yang semakin mengiris hatiku. Kata Semesta, ‘cepat pulang! Jangan biarkan
jelaga mencurimu’. Ah iya, aku masih ingin bersua dengan hujan lagi. Hujan
adalah canduku. Karena tiap rinainya hadirkan dirimu.
Chua❤ semangat nulisnya:')
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Hapus