Jangan
jadikan aku sebuah tali yang dapat kau simpulkan sendiri, yang dapat kau tarik
ulur seenaknya. Jangan jadikan aku dermaga yang dapat kau singgahi sebentar
saja, ataupun rel kereta yang kau lewati hanya pada jadwalnya. Jangan pula
melihatku seolah manekin identik dengan manekin lainnya. Dan jangan sekali pun
menggenggam hatiku, menaburkan rasa, lalu dihempaskan begitu saja pada akhirnya.
Denganmu,
aku belajar mencintai. Belajar mengerti bagaimana arti rasa dan luka yang
sesungguhnya. Bagiku, kau sangatlah berarti; suatu arti yang tak dapat dicari
dalam KBBI. Kau hanya selalu berada di sini, jauh di lubuk hati tersimpan rapi. Aku
begitu takut menyelam ke dalam lautan. Namun dengan genggamanmu, aku seolah
tenggelam jauh ke dalam renjana; bisa kuhirup dan bernapas lega di dalamnya.
Jika bisa, Tuhan, tolong jangan selamatkan aku. Biarkan saja seperti ini untuk
waktu yang lama. Sulit untuk bernapas, namun aku masih hidup. Entah apa yang
kau lakukan padaku, kutetap mencintaimu.
Detik tak
terhitung, menit seolah sirna. Apa kau tak pernah peka atau berhipotesa;
setidaknya, menyangka? Pelan tapi pasti, kau membunuh asa yang melekat di tiap
masa yang pernah kita lalui bersama. Kau tak menyadari betapa butuhnya diriku
untuk menghirup udara; yaitu dirimu. Kusesapi dirimu dalam seduhan kopi di
penghujung hariku. Tiap langkah dalam hari di satu minggu ialah rinduku padamu.
Denganmu, aku menemukan diriku menjadi sosok penakut untuk berdiri sendiri.
Aku benci
mencintaimu. Pun kerap kali berusaha cinta membenci dirimu, ku tetap tak kuasa.
Perasaan ini selalu kujaga. Namun apalah daya, ingin ku menyerah pada semesta,
dan kau malah membunuhku seiring berjalannya waktu. Tanpa keluh kesah, dengan
bodohnya kuterima begitu saja. Aku benci bahwa tak ada sosok yang dapat
menggantikan posisimu dalam hatiku, seperti jantung yang terus memompa darah untuk
tetap membuatku hidup.
Pernahkah
kau juga merindu akan diriku? Aku selalu lelah, namun tidak denganmu. Kapanpun
itu, kehadiranmu selalu kutunggu. Bodohnya, kau malah menyia-nyiakan segala hal
sepele yang begitu berharga. Aku tak ingin begitu membenci, pun tak ingin
begitu mencintai dirimu, sungguh. Entah bagaimana, kau mengerti namun tak
pernah benar-benar peduli dan mencintai. Sadarkah kau akan itu?
Jika yang
kau inginkan adalah dirinya, aku tak bisa. Aku adalah aku, yang ingin
dimengerti hanya oleh dirimu. Aku benci tak bisa bertahan hidup tanpa dirimu.
Aku benci menjadikanmu permanen dalam ingatanku. Aku benci menjadikanmu
otot-otot penggerak dibalik dagingku.
Tolong,
beritau aku tahapan untuk tak mencintaimu, dan tak juga membencimu berulang
kali tiap pagi. Karena bodohnya, telah kuberikan kepercayaanku padamu, dan aku
tetap percaya. Walau kata itu telah jatuh dan hancur berkeping-keping setelah
sekian lama.
Kerap kali
mulut dan hati ini ingin memohon agar kau tak pergi dan tetap di sini. Namun
kau kian mempersulit kala dan segalanya. Asal kau tau saja, susah sekali
rasanya untuk ikut berdendang di sisi-sisi nyanyian mereka yang berbahagia
bersama. Aku tau, memang bodoh menjadi diriku; yang selalu saja hobi berlari
kembali padamu yang selalu menghancurkanku.
Lalu,
kenapa kau tinggalkan aku di sini, menyembuhkanku hanya tuk buatku kembali
terluka?
Tolong
ingatkan aku lagi; kenapa aku pernah menjadi sebodoh itu untuk menginginkanmu
menjadi milikku?
— kala September mengadu dalam
jelaga