Diskusi Biru

apa-apa untuk siapa saja, selalu dari sang Nona :)

22 September 2018

Di sela-sela Hujan


Sore itu, kami duduk di beranda, bercerita di bawah hujan yang mendera dan pasang telinga juga. Semesta menyaksikan sambil tersenyum. ‘Jangan terlalu lama, nanti semakin terluka’, katanya. Sebelum itu, kuseruput teh hangat dengan sentuhan manis aksaramu. Sembari berpikir sesekali. Membayangkan, andai saja waktu berhenti kala itu. Kala rinai hujan jatuhkan rindu dan hadirkan masa lalu. Selalu saja ditemani nostalgia. Rasa bercampur aduk di satu waktu. Persetan dengan perasaan. Aku hanya ingin mendengar celotehmu di sela-sela hujan. Berselimut dingin yang memilukan, namun hatiku begitu hangat oleh hadirmu di ruang waktu. Sesekali, ingin kujadikan kisah ini bagai roman picisan yang dapat mengalahkan legenda Romeo dan Juliet.
Apalah daya, hujan pamit membawamu pergi. Meninggalkan aroma petrichor yang semerbaknya begitu menusuk. Segera kuhabiskan secankir teh yang mulai mendingin, berniat untuk masuk saja ke kamar; tutup pintu rapat-rapat dan terpejam. Bodohnya, aku malah berlari menginjak tiap genangan air sisa-sisa hujan yang mengandung tiap bait aksaramu. Malah kuhirup dalam-dalam petrichor di tiap sudut kota, menjadi candu pilu yang semakin mengiris hatiku. Kata Semesta, ‘cepat pulang! Jangan biarkan jelaga mencurimu’. Ah iya, aku masih ingin bersua dengan hujan lagi. Hujan adalah canduku. Karena tiap rinainya hadirkan dirimu.  

11 September 2018

“ Dewana “


Jangan jadikan aku sebuah tali yang dapat kau simpulkan sendiri, yang dapat kau tarik ulur seenaknya. Jangan jadikan aku dermaga yang dapat kau singgahi sebentar saja, ataupun rel kereta yang kau lewati hanya pada jadwalnya. Jangan pula melihatku seolah manekin identik dengan manekin lainnya. Dan jangan sekali pun menggenggam hatiku, menaburkan rasa, lalu dihempaskan begitu saja pada akhirnya.
Denganmu, aku belajar mencintai. Belajar mengerti bagaimana arti rasa dan luka yang sesungguhnya. Bagiku, kau sangatlah berarti; suatu arti yang tak dapat dicari dalam KBBI. Kau hanya selalu berada di sini, jauh di lubuk hati tersimpan rapi. Aku begitu takut menyelam ke dalam lautan. Namun dengan genggamanmu, aku seolah tenggelam jauh ke dalam renjana; bisa kuhirup dan bernapas lega di dalamnya. Jika bisa, Tuhan, tolong jangan selamatkan aku. Biarkan saja seperti ini untuk waktu yang lama. Sulit untuk bernapas, namun aku masih hidup. Entah apa yang kau lakukan padaku, kutetap mencintaimu.
Detik tak terhitung, menit seolah sirna. Apa kau tak pernah peka atau berhipotesa; setidaknya, menyangka? Pelan tapi pasti, kau membunuh asa yang melekat di tiap masa yang pernah kita lalui bersama. Kau tak menyadari betapa butuhnya diriku untuk menghirup udara; yaitu dirimu. Kusesapi dirimu dalam seduhan kopi di penghujung hariku. Tiap langkah dalam hari di satu minggu ialah rinduku padamu. Denganmu, aku menemukan diriku menjadi sosok penakut untuk berdiri sendiri.
Aku benci mencintaimu. Pun kerap kali berusaha cinta membenci dirimu, ku tetap tak kuasa. Perasaan ini selalu kujaga. Namun apalah daya, ingin ku menyerah pada semesta, dan kau malah membunuhku seiring berjalannya waktu. Tanpa keluh kesah, dengan bodohnya kuterima begitu saja. Aku benci bahwa tak ada sosok yang dapat menggantikan posisimu dalam hatiku, seperti jantung yang terus memompa darah untuk tetap membuatku hidup.
Pernahkah kau juga merindu akan diriku? Aku selalu lelah, namun tidak denganmu. Kapanpun itu, kehadiranmu selalu kutunggu. Bodohnya, kau malah menyia-nyiakan segala hal sepele yang begitu berharga. Aku tak ingin begitu membenci, pun tak ingin begitu mencintai dirimu, sungguh. Entah bagaimana, kau mengerti namun tak pernah benar-benar peduli dan mencintai. Sadarkah kau akan itu?
Jika yang kau inginkan adalah dirinya, aku tak bisa. Aku adalah aku, yang ingin dimengerti hanya oleh dirimu. Aku benci tak bisa bertahan hidup tanpa dirimu. Aku benci menjadikanmu permanen dalam ingatanku. Aku benci menjadikanmu otot-otot penggerak dibalik dagingku.
Tolong, beritau aku tahapan untuk tak mencintaimu, dan tak juga membencimu berulang kali tiap pagi. Karena bodohnya, telah kuberikan kepercayaanku padamu, dan aku tetap percaya. Walau kata itu telah jatuh dan hancur berkeping-keping setelah sekian lama.
Kerap kali mulut dan hati ini ingin memohon agar kau tak pergi dan tetap di sini. Namun kau kian mempersulit kala dan segalanya. Asal kau tau saja, susah sekali rasanya untuk ikut berdendang di sisi-sisi nyanyian mereka yang berbahagia bersama. Aku tau, memang bodoh menjadi diriku; yang selalu saja hobi berlari kembali padamu yang selalu menghancurkanku.
Lalu, kenapa kau tinggalkan aku di sini, menyembuhkanku hanya tuk buatku kembali terluka?

Tolong ingatkan aku lagi; kenapa aku pernah menjadi sebodoh itu untuk menginginkanmu menjadi milikku?


— kala September mengadu dalam jelaga

10 September 2018

“ Ragu “


Kau memintaku untuk selalu menjaga hatiku, agar tak ada sosok lain yang mampu mengisinya. Bersusah payah kulakukan itu, namun sebuah kata tak terduga berbisik halus di telinga. Dia ragu. Satu kata yang membuatku berpikir ribuan kali banyaknya, duduk berlama-lama di bawah pohon hanya bertemankan alunan indi melankolia. Yang membawaku terhanyut pada aksaramu yang mengalir deras hingga ke bagian ujung tebing dan menghempaskannya begitu saja, ciptakan cipratan yang menyentak dan membangunkanku menuju realita. Alangkah ingin kupahami dirimu. Ikut menyelam ke dalam frasa di sudut senja yang seringkali membuatku merasa berdiri di tengah semu dan kenyataan. Lalu apa namanya? Bukankah itu hanya sekadar fatamorgana? Ingin kugapai dirimu. Genggam tanganmu dan ikut berjalan, menapak tanah di bawah naungan langit biru yang satu. Pun berkali-kali kau ingatkan aku untuk tak peduli pada apapun itu dan hanya yakini diriku, mohon maaf saja, aku sungguh tak bisa. Aku senang, sungguh. Namun, bagaimana perihal asa di ujung masa? Jikalau aku tak lagi ada untuk kau mengasa dan menjadi tempatmu kembali pulang, apalah dayamu? Mungkin satu-satunya cara terampuh adalah dengan berdoa, selalu meminta kepada Yang Maha Kuasa. Namun, lagi, berkali-kali, dia ragu. Satu kata yang terus mengisi relung hati merambat ke jiwa ini. Aku tak bisa melakukan hal persis seperti yang kau lakukan padaku. Saling memahami? Kau seolah rumus baru yang kupelajari mati-matian agar dapat nilai sempurna. Yang buatku meneguk bergelas kopi di kala fajar dan senja supaya tetap terjaga dan terus memahaminya. Aku bukanlah seperti tokoh fiksi dalam novel romansa, bukan pula ilmuwan atau pujangga. Aku hanyalah sekeping pilu tergores biru yang dibalut oleh ragu-ragu.

                                 — Jogja, 14:45