Diskusi Biru

apa-apa untuk siapa saja, selalu dari sang Nona :)

12 November 2018

Pada Senja yang Membawamu Pergi

     Tidak. Aku bukan Boy Candra.

     Lima kata yang mengawali judul kali ini hanya begitu indah terdengar di telinga, selain karena begitu cocok untuk mengisahkan sosok yang dibawa pergi senja berkali-kali.    
     Tadinya, aku tak pernah tau senja itu apa.
     Hingga terukir satu hari kala februari senja.
     Hari dimana seorang sahabat mengajakku berkelana, berdua saja. Berkeliling kota mencari sesuatu yang tak pasti ada. Hingga sampai di penghujung hari, ia membawaku untuk berkenalan dengan senja.
     Biru dan merah bertemu. Tidak, bukan hanya dua warna itu, melainkan begitu banyak yang bersatu padu menghias cakrawala. Detik itu, netraku seolah terhipnotis selamanya. Seakan terbang dan menyatu pada lukisan senja itu.
     Namun, kala kedipan mata bangunkanku dari hipnotis itu, senjanya sirna. Jelaga dan purnama sudah bersama saja, dan tanpa kejora.
     “Tanpa berdiskusi dengan semesta, senja sudah harus pulang. Ia hanya ingin ditunggu keindahannya lalu pamit tanpa harus berlama-lama.”
     Dari matanya, kulihat senja tenggelam di sana.
     “Tidak. Ia sudah lama tenggelam di matamu.”
     Netraku terasa membeku. Tak lepas memandang sesiapa yang bersanding di sisi. Baru kusadari, aku berdua di sini dengannya, menyambut kepergian senja.
     “Kamu sebegitu menyukai senja, ya?”
     “Senja itu canduku.”
     “Kupanggil saja kamu Tuan Senja.”
     “Lalu kamu nonanya? Setuju.”
     Tidak. Kepalaku spontan menggeleng. Aku mana bisa dijuluki seperti itu jika berkenalan dengan senja saja baru sekali ini?
     “Aku akan menjadi Tuan Senjamu, selamanya.”
     “Kalau begitu, jangan datang untuk pergi seperti senja.”
     “Aku Tuan Senjamu, hanya untukmu. Tentu saja aku akan pergi untuk kembali padamu.”
     Berbeda dari senja lainnya, begitu katanya.
     Sejatinya, bumi membenci manusianya yang hina. Ada sebuah karma yang siap sedia dilemparkan ke arah kita. Ekspektasi pun tak pernah realistis.
     Senja berikutnya, yang ketiga hingga entah ke berapa, masih berdua saja dengannya. Tuan senja, ya, kupanggil seperti itu. Mengajarkanku analogi, filosofi, apapun itu, yang berkaitan dengan senja. Selalu.
     Sebelumnya, senja selalu penuh cinta.
     Tapi tidak lagi. Sejak kamu memutuskan pergi.
     Ah bukan.
     Hingga pada akhirnya, senja itu membawamu pergi.
     Bodohnya, aku mengiyakan perkataanmu. Angan-angan belaka. Hanya rentetan aksara yang menyiram bunga-bunga dalam asa, sampai kemudian terbakar nelangsa angin lalu.
     Katamu, kamu akan menjadi senja yang berbeda untukku.
     Namun hari itu, kamu datang untuk mengucap kata selamat tinggal.
     “Tentu saja aku akan pergi untuk kembali; padamu, nonaku.” 
     Merasa ragu untuk menunggumu.
     Pertanyaan sebenarnya adalah, akankah kamu menjadi senjaku selamanya? Hanya untukku, wahai Tuan Senja?
     Karena pada kenyataan yang ada, kita berjanji untuk diingksri. Dan kata maaf diucapkan untuk terulang lagi. Pun tak ada yang abadi. Walau senja ada dengan detik yang tak lebih menit pun kurang, bagaimanapun juga ia akan ada di hari esok. Namun tak pasti, itu realita yang menyiksa.
     Sebelumnya, senja pernah membawamu pergi. Tak berpijak di atas tanah yang sama. Dan senja itu tak indah lagi.
“Kita masih berada di bawah langit yang sama, tak apa.”
Kala senja berikutnya, ia membawamu pergi, lagi. Benar-benar pergi, begitu jauh dari jangkauanku. Tidak. Senja bukannya membawamu pergi, tapi melenyapkanmu dari pandanganku. Seolah ia cemburu saja pada kita.
     “Masih satu dunia, tak apa.”
     Bagiku, apa-apa jika langitku tak berhias senja milikku.
     Tuan Senja hanya tersenyum dan berkata bahwa aku bisa melalui hari-hariku tanpa senja milikku. Bahwa aku akan baik-baik saja.
     “Senja selalu indah apa adanya. Tak harus ada senja milikmu. Tinggal bayangkan Tuannya bersanding di sisimu, dan senja itu akan indah selamanya.”
     Hidup memang tak adil, dan semesta begitu jahat padaku.
     Pernyataan yang tak terucap adalah, senja milikku itu berpesan agar aku selalu menanti kedatangan satu senja istimewa yang akan abadi untukku. Benar-benar selamanya.
     Aku menunggu. Terus menunggumu. Hingga ragu-ragu.
     Senja selalu pergi. Entah benar-benar kembali atau tidak. Lalu senja membawamu pergi. Entah akan membawamu kembali lagi atau ... mungkin tidak. Mungkin sejak detik awal senja membawamu pergi, ia sudah melumatmu habis-habisan, agar tak ada kata kembali setelah kata pergi. Karena tanda titik tak pernah disusuli sebuah koma.
     Pada senja yang membawamu pergi,
     hingga detik ini aku masih menunggu sesuatu yang tak pasti. Masih menanti cakrawala melukis senjanya, dan masih menanti sang Tuan yang kan melukis senjaku suatu hari nanti.  
     Dengan sebuah kata yang terperangkap dalam asa;

     (ragu)

Jejak : Tak ada rasa tak ada pilu. Hanya menunggu dan meragu.



— Ketika Nona Hujan bernostalgia

25 Oktober 2018

Hujan tak datang, Senja menghilang


Kenapa para pujangga hobi selipi rindu, hujan, kopi dan senja di tiap aksara mereka?

Kala itu, seorang teman bertanya padaku. Hening, lalu merekahkan senyum. Tak kujawab. Aku hanya tau.

Kenapa rintik hujan selalu membawa rindu dan pilu?

Aku hanya mendengarnya. Diam. Seolah menghirup dalam-dalam aroma hujan yang berjatuhan ke tanah. Sebuah racikan istimewa dari semesta.

Kenapa juga kopi terasa lebih nikmat diseruput kala senja?

Angin dan rumput yang bergoyang. Kembali ku mengulum senyum. Mengingat goresan warna-warna di cakrawala sana. Terasa tidak pahit, walau hitam. Bukan senja, tapi kopinya.

Aku hanya tau. Jika kalian pernah merasakan hal itu, pasti juga tau. Tak ada karena, tak ada jikalau pun seandainya. Hanya tau saja.

Namun, di Oktober ini, penghujung hari terasa semakin tidak ada apa-apanya lagi. Semesta bermuram durja. Siapa yang membuatnya begitu? Oh, mungkin ia hanya ingin turunkan rinai-rinai peredam emosiku detik itu.

Tapi tidak. Jangan berekspektasi.

Jagad raya bergemuruh. Mega di cakrawala ingin berkunjung, bermain bersama semesta. Namun jingga lebih abu-abu, tak menentu arah yang ditujunya. Tanpa kenapa, tanpa siapa. Tidak ada apa atau bagaimana. Angkasa retak saja dan jatuh ke bumi, agar tak ada lagi planet setelah venus sebelum mars.

Kupikir senja ingin bersua dengan hujan. Sementara keduanya sedang bermusuhan. Oh, bukan. Tidak bermusuhan, tapi memang tak pernah ditakdirkan untuk menjadi tempat senja pulang, atau bahkan menjadi tempat hujan berjatuhan ribuan kali. Langit ikut sendu dan kelu.

Abu-abu hiasi kotaku sore itu. Hujan tak datang, senja menghilang. Andaikan Matahari tau seberapa besar asa keduanya akan sebuah titik temu yang pasti. Titik dimana tak ada kata cemburu maupun terluka karena salah satu dari dua romansa di alam raya.

Samudra, dengarkah kau bisikan itu? Sudikah dirimu menjadi titik temu hujan dan senja? Agar tak lagi ada tabu, semu atau abu-abu yang mengelu melulu. Jadikan satu hari dari perputaran planet-planet di bima sakti sebagai saksi bisu yang nyata di titik temu keduanya.

Tapi, sudikah dirimu, wahai Samudra?

Agar hujan segan bersemayam di atas kapas selembut sutra. Agar senja selalu ingin datang berkunjung walau tak hitung kedipan mata. Agar semesta lega. Agar hari-hariku kembali istimewa. Agar aku baik-baik saja.



-   Penghujung Oktober, Jogja bermuram durja

22 September 2018

Di sela-sela Hujan


Sore itu, kami duduk di beranda, bercerita di bawah hujan yang mendera dan pasang telinga juga. Semesta menyaksikan sambil tersenyum. ‘Jangan terlalu lama, nanti semakin terluka’, katanya. Sebelum itu, kuseruput teh hangat dengan sentuhan manis aksaramu. Sembari berpikir sesekali. Membayangkan, andai saja waktu berhenti kala itu. Kala rinai hujan jatuhkan rindu dan hadirkan masa lalu. Selalu saja ditemani nostalgia. Rasa bercampur aduk di satu waktu. Persetan dengan perasaan. Aku hanya ingin mendengar celotehmu di sela-sela hujan. Berselimut dingin yang memilukan, namun hatiku begitu hangat oleh hadirmu di ruang waktu. Sesekali, ingin kujadikan kisah ini bagai roman picisan yang dapat mengalahkan legenda Romeo dan Juliet.
Apalah daya, hujan pamit membawamu pergi. Meninggalkan aroma petrichor yang semerbaknya begitu menusuk. Segera kuhabiskan secankir teh yang mulai mendingin, berniat untuk masuk saja ke kamar; tutup pintu rapat-rapat dan terpejam. Bodohnya, aku malah berlari menginjak tiap genangan air sisa-sisa hujan yang mengandung tiap bait aksaramu. Malah kuhirup dalam-dalam petrichor di tiap sudut kota, menjadi candu pilu yang semakin mengiris hatiku. Kata Semesta, ‘cepat pulang! Jangan biarkan jelaga mencurimu’. Ah iya, aku masih ingin bersua dengan hujan lagi. Hujan adalah canduku. Karena tiap rinainya hadirkan dirimu.  

11 September 2018

“ Dewana “


Jangan jadikan aku sebuah tali yang dapat kau simpulkan sendiri, yang dapat kau tarik ulur seenaknya. Jangan jadikan aku dermaga yang dapat kau singgahi sebentar saja, ataupun rel kereta yang kau lewati hanya pada jadwalnya. Jangan pula melihatku seolah manekin identik dengan manekin lainnya. Dan jangan sekali pun menggenggam hatiku, menaburkan rasa, lalu dihempaskan begitu saja pada akhirnya.
Denganmu, aku belajar mencintai. Belajar mengerti bagaimana arti rasa dan luka yang sesungguhnya. Bagiku, kau sangatlah berarti; suatu arti yang tak dapat dicari dalam KBBI. Kau hanya selalu berada di sini, jauh di lubuk hati tersimpan rapi. Aku begitu takut menyelam ke dalam lautan. Namun dengan genggamanmu, aku seolah tenggelam jauh ke dalam renjana; bisa kuhirup dan bernapas lega di dalamnya. Jika bisa, Tuhan, tolong jangan selamatkan aku. Biarkan saja seperti ini untuk waktu yang lama. Sulit untuk bernapas, namun aku masih hidup. Entah apa yang kau lakukan padaku, kutetap mencintaimu.
Detik tak terhitung, menit seolah sirna. Apa kau tak pernah peka atau berhipotesa; setidaknya, menyangka? Pelan tapi pasti, kau membunuh asa yang melekat di tiap masa yang pernah kita lalui bersama. Kau tak menyadari betapa butuhnya diriku untuk menghirup udara; yaitu dirimu. Kusesapi dirimu dalam seduhan kopi di penghujung hariku. Tiap langkah dalam hari di satu minggu ialah rinduku padamu. Denganmu, aku menemukan diriku menjadi sosok penakut untuk berdiri sendiri.
Aku benci mencintaimu. Pun kerap kali berusaha cinta membenci dirimu, ku tetap tak kuasa. Perasaan ini selalu kujaga. Namun apalah daya, ingin ku menyerah pada semesta, dan kau malah membunuhku seiring berjalannya waktu. Tanpa keluh kesah, dengan bodohnya kuterima begitu saja. Aku benci bahwa tak ada sosok yang dapat menggantikan posisimu dalam hatiku, seperti jantung yang terus memompa darah untuk tetap membuatku hidup.
Pernahkah kau juga merindu akan diriku? Aku selalu lelah, namun tidak denganmu. Kapanpun itu, kehadiranmu selalu kutunggu. Bodohnya, kau malah menyia-nyiakan segala hal sepele yang begitu berharga. Aku tak ingin begitu membenci, pun tak ingin begitu mencintai dirimu, sungguh. Entah bagaimana, kau mengerti namun tak pernah benar-benar peduli dan mencintai. Sadarkah kau akan itu?
Jika yang kau inginkan adalah dirinya, aku tak bisa. Aku adalah aku, yang ingin dimengerti hanya oleh dirimu. Aku benci tak bisa bertahan hidup tanpa dirimu. Aku benci menjadikanmu permanen dalam ingatanku. Aku benci menjadikanmu otot-otot penggerak dibalik dagingku.
Tolong, beritau aku tahapan untuk tak mencintaimu, dan tak juga membencimu berulang kali tiap pagi. Karena bodohnya, telah kuberikan kepercayaanku padamu, dan aku tetap percaya. Walau kata itu telah jatuh dan hancur berkeping-keping setelah sekian lama.
Kerap kali mulut dan hati ini ingin memohon agar kau tak pergi dan tetap di sini. Namun kau kian mempersulit kala dan segalanya. Asal kau tau saja, susah sekali rasanya untuk ikut berdendang di sisi-sisi nyanyian mereka yang berbahagia bersama. Aku tau, memang bodoh menjadi diriku; yang selalu saja hobi berlari kembali padamu yang selalu menghancurkanku.
Lalu, kenapa kau tinggalkan aku di sini, menyembuhkanku hanya tuk buatku kembali terluka?

Tolong ingatkan aku lagi; kenapa aku pernah menjadi sebodoh itu untuk menginginkanmu menjadi milikku?


— kala September mengadu dalam jelaga

10 September 2018

“ Ragu “


Kau memintaku untuk selalu menjaga hatiku, agar tak ada sosok lain yang mampu mengisinya. Bersusah payah kulakukan itu, namun sebuah kata tak terduga berbisik halus di telinga. Dia ragu. Satu kata yang membuatku berpikir ribuan kali banyaknya, duduk berlama-lama di bawah pohon hanya bertemankan alunan indi melankolia. Yang membawaku terhanyut pada aksaramu yang mengalir deras hingga ke bagian ujung tebing dan menghempaskannya begitu saja, ciptakan cipratan yang menyentak dan membangunkanku menuju realita. Alangkah ingin kupahami dirimu. Ikut menyelam ke dalam frasa di sudut senja yang seringkali membuatku merasa berdiri di tengah semu dan kenyataan. Lalu apa namanya? Bukankah itu hanya sekadar fatamorgana? Ingin kugapai dirimu. Genggam tanganmu dan ikut berjalan, menapak tanah di bawah naungan langit biru yang satu. Pun berkali-kali kau ingatkan aku untuk tak peduli pada apapun itu dan hanya yakini diriku, mohon maaf saja, aku sungguh tak bisa. Aku senang, sungguh. Namun, bagaimana perihal asa di ujung masa? Jikalau aku tak lagi ada untuk kau mengasa dan menjadi tempatmu kembali pulang, apalah dayamu? Mungkin satu-satunya cara terampuh adalah dengan berdoa, selalu meminta kepada Yang Maha Kuasa. Namun, lagi, berkali-kali, dia ragu. Satu kata yang terus mengisi relung hati merambat ke jiwa ini. Aku tak bisa melakukan hal persis seperti yang kau lakukan padaku. Saling memahami? Kau seolah rumus baru yang kupelajari mati-matian agar dapat nilai sempurna. Yang buatku meneguk bergelas kopi di kala fajar dan senja supaya tetap terjaga dan terus memahaminya. Aku bukanlah seperti tokoh fiksi dalam novel romansa, bukan pula ilmuwan atau pujangga. Aku hanyalah sekeping pilu tergores biru yang dibalut oleh ragu-ragu.

                                 — Jogja, 14:45

8 Juni 2018

Once Upon a Time

Once up on a time

A girl knocked on a door
Of a pale boy she loved

It never opened

She never knew
The boy was broken

And love

Is not an open door

End

3 Juni 2018

" Ketika Mei Telah Usai "


Ku pikir mereka tak kan ingat lagi,
jingga menawan sore itu

Tawa sampai menyekat jelaga
Tangan-tangan bergenggaman
Menapak tanah basah aroma petrichor
Setiap inci bumi, kenangan terkubur rapi
Pada waktu maju tak repot melirik masa lalu
Kupikir mereka tak kan ingat lagi;
Ketika mei telah usai