Diskusi Biru

apa-apa untuk siapa saja, selalu dari sang Nona :)

23 Juni 2021

Katalisator

Kamu;
karena yang lain
tidak masuk akal.
Ralat—  
memang yang lain
tidak pernah ada.


Indah ...
buatku, adalah di saat bisa menjadi senyaman itu dengan seseorang yang kusadari ialah tempatku bercurah akan segala kesah kisah yang selama ini kusimpan sendiri dengan susah payah. Sebegitu nyaman sampai rasanya seperti … samasekali bukan terjatuh. Tiada terantuk pun buatku senang— dan kuketuk pintumu yg sepi di jendela, kulihat kakiku rapuh. 
Kemudian, tersadar aku bahwa sudah sampai di rumah.

Kau melukis di atas lukaku dengan segala warna yang tertemu, hingga pada akhirnya semua itu lenyap bersama singsingan fajar. Sementara aku kerap tanpa sadar menabur garam di atas lukamu, nian kau menikmatinya sendirian.

Responsibilitinya adalah agar hati yang satu tetap terjaga, sebaik-baiknya.


Bilamana beberapa mimpiku jatuh di lantai, ajaklah jiwaku berlari menuju hatimu. Dan ajaklah aku berlari setelah kau bangunkan aku dari tidurku yang kelabu ini, menujumu; dengan entah, melingkar di jemarimu atau, 
 mengentah bersama-sama. Biarkan aku berjalan bersamamu, agar tak sendirian kau menatap burung-burung, gunung, dan bulan yang sendirian itu.

Sampai suatu hari, jika nanti kau terbangun merindukanku, dan hatimu bertanya-tanya dimana gerangan kuberada … kupikir arah mana yang kau ambil tak kan salah. 
ingatkan lagi dimana lembar pertama cerita kita? 
Di sana. Tiada kan kuberanjak. Hadirmu kunanti; di sana, seperti sedia kala. 

Karena …
Dalam dekapmu, kutitipkan sendu dan ragu.
Dalam pelukmu, kuserahkan sejuta pintaku.
Agar kamu tau satu hal.
Satu dari seribu, aku mau kamu.


'memang harus kamu', apa terdengar egois?

Supaya kelak, setelah penghujan, kepada bibirmu lah aku pulang.


p.s. : yang kurasa untukmu, semua-muanya, tak mampu kutuang dalam kata, semau-maunya. Dengan entah, tak kutau cara yang sepantasnya ... 

22 Juni 2021

— Aku sungguh


apa-apa.
Ingin sekali berkata begitu. Nyatanya, malah diawali dengan tidak.
Seingat saya, dengan baik-baik saja mereka adalah kerabat dekat. Atau tampaknya sedang tak akur? Entah. 

Yang pernah saya dengar, hanya kalimat tanya seperti ini:
Would you like you if you met you?

Cenderung spontan mengangguk mantap, orang-orang, kemudian diam beberapa detik; “eh eh tunggu dulu deh..”, malah jadi ragu. Awalnya iya, akhirnya tidak. Kira-kira yang mana?
Bukan perihal hati yang dibolak-balik oleh Sang Maha. Tetapi seringkali ada bagian pada diri yang tak diceritakan, disimpan bukan untuk dunia luar, yang tak jarang membuat kalut dan lalai. Niatnya mengobati malah semakin lebar lukanya terbuka. Dan yang tau sesiapa? Kan cuma pemiliknya.   
Eh, saya?
Apa saya akan menyukai diri saya jikalau bertemu saya?

Sama. Jawab diawal adalah iya, pastinya. Sekitar dua puluh persen barangkali, sisanya ya tebak sendiri. Tidak akan semudah itu menjabarkan apa-apa yang jadi alasan dibalik tidaknya. Ada kah yang menaruh perhatian? Peduli setan malah. 
Apathy
Pun berandai saja tak ada human error, empati tentu ada di tiap diri umat manusia sekarang. Simpati tanpa empati pun sama aja bohong sih …



“Kau tau tidak? Dia tak pernah bermaksud begitu.
Dia hanyalah seorang pejuang yang sendirian. Dalam perjalanan, dia mencintai; tapi tidak dengan dirinya sendiri, dia mengobati luka-luka, menemani yang sepi, menumbuhkan yang patah; tapi tidak dengan miliknya sendiri. Seperti cahaya yang menghampiri api. 
Dia itu berpura-pura lupa saja siapa yang lebih butuh itu semua, karena yang di sana untuknya tak pernah satu pun ada.” 
—katanya begitu, seolah mengisahkan bukan dirinya sendiri.  
 

p.s. : sungguh, aku berusaha. Untuk hilangkan tidak sebelum baik-baik saja-ku. 

23 Februari 2021

— Sebab suatu sore

Februari senja tenggelam dalam pantulan bulan yang malam itu sudah usai purnamanya. Benderang. Langit pekat yang bersih tanpa bintang, tapi cukup ramai, dan tidak apa-apa. 

Tidak apa-apa bagi kita untuk sejenak menikmati detik yang harusnya dinikmati selagi tidak sendiri. Selagi sedang tidak menoleh ke belakang, atau terkurung dalam kesendirian yang berisik, selagi tidak meneropong jauh ke suatu di sana yang belum tentu ada.

Saya bertemu hujan hari itu. Berkisah, nonanya entah kenapa … mondar-mandir tak karuan sambil gigit kuku jempol yang belum sempat dipotong. Tentu hal pertama yang hujan tanyakan adalah perihal apa yang ia rasakan beberapa hari terakhir. Dan nona terdiam.


“Apa kau baik-baik saja?” tanya hujan lagi.

“Justru itu. Aku merasa baik-baik saja, lalu dimana tidaknya?”

Dari balik jendela berbingkai kayu kecoklatan yang mulai rapuh itu, saya tempelkan pipi di atas telapak tangan, sambil terus mendengar sang hujan. Dikatakan, nona merasa ada yang aneh dengan dirinya. Selama ini, sudah tak asing rasanya untuk merasa tidak baik-baik saja. Seolah berkawan lama, kemudian terpisahkan dengan paksa.

“dan mungkin aku memang merindu untuk itu.” begitu kata nona.

Padahal, akan selalu baik-baik saja, namun harus ada ‘tidak’ yang sesekali memberi warna lain. Menghadirkan rasa syukur yang cukup untuk diutarakan kepada Sang Pencipta. Lalu, bagaimana jika saat dimana ‘tidak baik-baik saja’ terlalu mendominasi?

Kemudian nona berkata begini, “Aku baik-baik saja, dan aku senang akan hal itu. Nyatanya, kutakutkan kelak kata ‘tidak’ itu tiba-tiba datang menghantamku bertubi-tubi hingga tak bisa bangkit lagi, tak seperti yang dulu-dulu.”

“Dulu belum ada aku.” timpal hujan.

Mendengarnya, nona hanya tersenyum. Senyum lembut seperti pakaian yang baru disetrika. Detik berikutnya, kata hujan, nona berkata, 

“Justru dengan derasnya hadirmu saat ini, hujan, kutakutkan terjerembab ke dalam tanah basah yang kotor—baunya sudah tak sama lagi, dan kau hanya membuatnya longsor menimpaku sendirian.”

Sebentar. Jadi, ini semua tentang nona dan hujannya sejak awal?


“Kau aneh, nona. Sungguh.”

“Bilang saja satu dari seribu, itu jauh lebih baik.”

Dan nona hanya tersenyum, sementara hujan rintik-rintik sebentar kemudian sampai detik sekarang kembali mengguyur malam yang tak lagi hening. Saya hanya di sini untuk mendengarkan.


‘Sebab suatu sore harinya menyampaikan kebahagian padanya.’


23 Januari 2021

— Januari


Hai. Sudah Januari lagi, malah akan berakhir. 

 

Kamu baik? Saya harap begitu. Karena rasanya ‘baik’ adalah suatu keharusan, walau sedang tidak sekalipun.

Oh ya, bagaimana hari-harimu di Januari? Saya yakin tidak semuanya berjalan sesuai keinginan. Katakanlah seperti … berimbang. We’ve had a few good night and a couple of bad ones, dan itu bukan masalah.

Hidup selalu berusaha mengajarkanmu sesuatu yang tidak diajarkan di bangku sekolah. Percaya deh.

Lalu, apa yang sudah Januari berikan padamu?

 

Ow, jadi kamu mau dengar bagian saya dulu? Hmm …

Bagaimana jika saya awali dengan sebuah kehilangan mendalam yang bukan hanya saya rasakan, tetapi untuk seluruh anggota keluarga. Tidak masalah? Seperti yang saya katakan sebelumnya, nggak selamanya 7 hari dalam seminggu berisi hal-hal baik dan menyenangkan, benar? Bad things happen. Meninggalkan luka, kenangan, sebuah makna dan pesan, yang kelak dijadikan pelajaran. Jangan khawatir, im okay now. Setidaknya, selalu ada waktu untuk berproses.

Mari saya lanjutkan dengan sepenggal kisah dua orang sahabat yang terpisah oleh jarak dan waktu. Saat mereka bertemu, semua yang ada pada diri keduanya terasa tak lagi sama seperti dahulu. Sahabat yang satu, katakanlah X, selalu teringat akan kenangan bersama sang sahabat terutama tiap kali mereka berlarian di kebun dan memetik apel merah segar.

Sang sahabat bertanya keheranan, “Kenapa kenangan itu melulu sih yang teringat olehmu?!”

“Karena hanya dengan kenangan itu aku dapat mengingat sesuatu yang tidak pernah berubah.” Begitu jawab X, cukup sendu wajahnya.

People change,  tapi tidak dengan kenangannya. Bertemu dengan sahabatnya setelah sekian lama, X merasa ada sesuatu yang berubah. X kehilangan dirinya, ia merasa sengaja terus mengingat kenangan itu hanya untuk menyaksikan bahwa sahabatnya masih di sana dan semuanya tetaplah sama. Ia belum sadar, bahwa dirinya belum bisa menerima. Perubahan itu tidak selalu buruk, bukan? Andaikan X mengajak sahabatnya mengulang kembali kenangan indah mereka, tentu sang sahabat akan sangat senang. Ia hanya perlu mengingat bahwa sahabatnya masih orang yang sama, walau soal berubah itu pastilah ada.

Sekarang, coba kulanjutkan kisahnya dari sudut pandang sang sahabat, Y. Tanpa sepengetahuan X, jauh di tempatnya berada, Y mengalami banyak hal yang terasa memahat dirinya menjadi seseorang yang lebih baik dari sebelumnya. Tidak sama, tapi tetaplah dirinya. Setelah bertemu dengan X pun ia melihat ada sesuatu yang berubah, dan itu bukan masalah. Di matanya, X adalah sosok sahabat yang sama seperti bagaimana dulu ia mengenalnya.

Klise. People change, yet still the same.

Soal berubah, bisa jadi saya nggak merasa tapi kamu merasa—tergantung dari sebelah mana melihatnya. Sudut pandang kita berbeda, ingat?

Mungkin beberapa orang akan melepaskan diri dari orang-orang yang dirasa sudah berbeda, terserah dari segi obrolan, pemahaman atau lainnya. We don’t know why people do what they do. Setiap orang melihat dari jendela masing-masing, setiap dari mereka punya alasannya sendiri. Bahkan beberapa alasan kadang nggak masuk akal untuk dijadikan alasan. Pernyataannya yang nggak boleh dipertanyakan, namun alasan kenapa, itu adalah pilihan kita untuk mau tau atau nggak.

 

Semoga dari sepenggal kisah tadi maknanya tersampaikan, ya.

Hidup itu layaknya sebuah garis. Ada titik awal juga titik akhir. Tapi, kalau kamu membayangkan garis itu sebagai sebuah lingkaran, hal baik dan buruk kerap terjadi, tiba-tiba saja rasanya dunia ini seperti sebuah tempat yang kecil.

 

Rasanya cukup banyak yang belum terdengar. Semoga waktu mempertemukan kamu dan saya di kesempatan yang tepat ya, banyak hal yang menggebu minta diutarakan secepatnya, nih!

Jaga kesehatan. May okay will be our always :)