Diskusi Biru

apa-apa untuk siapa saja, selalu dari sang Nona :)

23 Agustus 2020

Pernahkah?


“Apa kamu pernah merindukan dirimu sendiri?”

Jawaban:
a. Biasa aja
b. Pernah
c. Tidak pernah
d. Samasekali tidak


Pertanyaan ini, untuk semuanya, bukan? Kalau memang iya, saya yakin semuanya akan berusaha mencari kepastian dalam sebuah jawaban. Berpikir keras pula gimana cara mencarinya.
Merindukan orang lain mungkin gampang. Segampang membalik telapak tangan. Segampang berkedip. Atau bisa jadi ga segampang itu, ferguso. Seperti bertemu teman lama yang peluknya ga bisa kamu tahan untuk dibalas dengan erat. Lainnya, seperti berusaha akur sama saudara sendiri walau cuma untuk sehari. Iya, ga gampang alias sulit. Sesulit itu.
Tapi, pernah ga sih rasanya rindu sama dirimu sendiri?
Yang ini seperti berusaha mengulurkan tangan pada seseorang yang tenggelam di danau, padahal itu adalah pantulan dirimu sendiri.
Ada beberapa hal yang ga kamu ketahui tentang kamu dan orang lain. Belum, tepatnya. Dan akan segera diketahui jika kamu lebih dulu menemukannya.
Apa yang kamu sukai di dunia ini? Apa itu maksudnya apa? Apakah sesuatu yang umum atau khusus? Apakah harus apa, atau bisa jadi bagaimana? Tentang sebuah hal, benda … sebenarnya apa??!

“In a world where you can open any door,
first of all, choose to open the door of your heart.”
— Alexandra Vasiliu

Kenali dirimu sendiri.
Sudah kenal belum, dengan diri sendiri?
“Ya tau dong!”. Hohoo tentu ga begitu cara kerjanya. Bukan perihal mengetahui, tetapi mengenal. Sesimpel kamu tau siapa itu Raisa, penyanyi cantik yang juga istri dari aktor tampan Hamish Daud. Tapi, kamu ga kenal dia, kan? Bagaimana sifatnya, karakteristiknya, yang di depan dan di balik layar pun bisa aja bertolakbelakang. Kamu ga kenal, sekadar tau aja. 
Saya yakin, kamu tau siapa namamu. Tapi siapa kamu sebenarnya? Itu yang harus kamu kenal lebih dulu. Seiring berjalannya waktu, ada orang yang merasa ga nyaman dengan dirinya karena merasa hanya tau namanya tapi ga kenal dengan dirinya sendiri. Atau orang-orang yang ga nyaman menjadi dirinya karena suatu tekanan yang menjadikannya sebagai orang yang bukan dirinya sendiri.
Seperti perasaan ketika terbiasa berada di satu tempat, padahal kita sendiri tau tempat itu bukanlah tempat dimana kita seharusnya berada.

Pernah.
Itu jawaban saya untuk pertanyaan di awal tadi.
Pernah saya merasa begitu rindu pada diri saya sendiri. Sosok yang saya kenal, begitu juga dengan teman-teman lama. Saya yang menjadi apa adanya, yang ga menuntut suatu perubahan untuk jadi baik di depan si a atau langsung buang muka tiap berpapasan dengan si b. Dan pada suatu masa, ketika berjarak jauh dengan mereka, saya kehilangan diri saya sendiri. Sewaktu menyadarinya, saya tiba-tiba teringat akan celoteh salah satu guru yang seringkali bilang begini:
“Sebuah pertemanan itu ibarat berteman dengan penjual minyak wangi, dan dengan seorang pandai besi“.

Saya rasa, kita semua pernah berada di sini; pada posisi dimana berusaha menyesuaikan diri dengan orang-orang di lingkungan sekitar. Sebuah hal yang ga tersadari; akan sebuah perasaan diterima yang kita inginkan. Saat itu, saya sudah terbiasa ada di tempat itu, namun saya sadar tempat itu bukanlah tempat saya. Ketika saya sadar telah kehilangan diri saya sendiri dan merindukannya, saya jadi menyadari makna dari kalimat yang diucapkan sang guru.
Kerinduan itu, bisa dirasakan oleh mereka yang sudah mengenal atau pun belum samasekali, dengan diri mereka. Untuk mereka yang pernah berada di bawah, merindukan bagaimana pahit manisnya perjalanan mereka hingga berhasil sampai ke posisi mereka saat ini. Atau untuk mereka yang masih pada posisi yang sama, namun sudah merindukan bagaimana rasanya sebuah kelegaan dari mengusap keringat perjuangan untuk sampai di posisi akhir.

Jadi bukan diri sendiri, itu ga nyaman, tau?
Rasanya seperti hidup secara tidak utuh.
Terkadang, terasa seperti di dalamnya terlalu kosong hingga harus dipenuhi dengan porsinya yang tepat.
Kadang juga terasa seperti dicekik lehernya lalu ditarik. Seperti mengenakan baju ketat dan tebal. Terkekang. Menyesakkan. Gerah.
Atau bahkan, hal yang lebih sering terjadi, adalah sewaktu kamu terpaksa atau bahkan memaksa diri untuk menjadi apa yang orang lain ingin lihat dari dirimu. Kamu terpaksa menunjukkannya, dengan tubuh gemetar dan keringat dingin bercucuran. Kamu terpaksa, padahal kamu tau kamu tidak seharusnya menuruti kata paksa itu. Sama halnya dengan kamu memaksa diri untuk melakukan hal yang tidak seharusnya kamu lakukan.
Semua itu hanya untuk menuruti sebuah kata paksa, dari mulut orang-orang. Padahal kamu gemetar ketakutan, kamu merasa risih dan benci hal itu. Hanya demi sebuah pengakuan dan penerimaan. Melakukan semuanya itu, bikin ga nyaman, kan? Samasekali.
Saya rasa, sepertinya kamu mungkin harus berhenti mikirin kenapa mereka selalu seperti itu ke kamu. Sebaliknya, tanya dirimu sendiri, kenapa kamu selalu membiarkan mereka seenaknya padamu. Bukan kah begitu yang seharusnya?
Karena mereka bilang mengutamakan diri sendiri itu egois. Well, mereka cuma bilang, tanpa tau bahwa itu adalah hal penting; yang perlu kita lakukan untuk diri sendiri.
Kenal diri sendiri itu emang ga segampang yang dikira siapapun. Jadi, semuanya berada di tangan kita sendiri, Gimana keputusan dan tindakan selanjutnya, cuma kita yang punya kendali akan hal itu.
Kamu, yang selama ini merasa ga nyaman jadi dirimu ataupun merasa belum menjadi dirimu sendiri, coba tanyakan; bagaimana caranya berkenalan dengan diri sendiri? Untuk merasa nyaman atas diri sendiri itu gimana? Semua jawaban ada dalam dirimu sendiri lho padahal. Memang, apa yang terbaik buat dirimu, pasti cuma kamu yang tau.
Jadi, jangan ragu dan beranilah!
Walau perjalanannya ga akan gampang, nantinya kamu akan berakhir merasakan kenyamanan menjadi dirimu sendiri. Dan hal itu ga salah samasekali :)

Jadilah sepenuhnya dirimu sendiri hingga orang lain juga merasa aman untuk menjadi diri mereka :)




p.s. : Intinya, saya cuma mau bilang ‘Kenali dirimu dan jadilah dirimu sendiri’, tapi malah melebar kesana kemari. Karena melihat kenyataan di hadapan, banyak dari mereka yang belum kenal diri sendiri tapi malah pengin jadi orang lain dan bikin diri sendiri jadi ga nyaman.  Bahkan merasa ga puas dengan dirinya, padahal belum tau aja ada harta karun yang tertimbun jauh di dalam sana :)



“Apa kamu sudah kenal dengan dirimu sendiri?”
Sepertinya pertanyaan itu lebih cocok jadi pembuka di atas ya, heu



#LoveYourself #BeTrueToYou

3 Agustus 2020

Pememorian


with the ghost of you



     Hanya butuh waktu selama 3 hari untuk mengenang hadirmu.
     Lalu ketidakhadiranmu terhitung setahun setelah 3 bulan ke depan berhasil saya lewati.


     Kamu, yang tidak pernah saya pinta sebuah kata hadirnya. Atau mungkin, lupa. Begitu banyak kata-kata yang saya lupakan begitu saja, katakan lah sengaja. Dikatakan atau tidaknya, kamu tetap tiada lagi entah di mana pun itu. Truth always hurts, huh? Mengingatnya saja buat saya lebih baik tidak mengingat apa-apa.
     Kamu, yang hadirnya tak pernah saya anggap sebagai ada.
     Seseorang yang hanya saya yang kenal. Atau mungkin dia, dan dia, beberapa teman dekat yang mengharap pertemuan dengan adanya dirimu. Mereka, yang mendengar ocehan jengkel mulut saya ketika jauh darimu. Saya yang dapat tiket gratis bersamamu bahkan berusaha membuang tiket itu. Dan sekarang, saya merasa jadi manusia paling bodoh. Atau mungkin begitu pikir semua orang sewaktu ditinggalkan.
     Some people don’t know what they have until it’s gone.
     Yep. Ga ada yang salah dari susunan kata itu. Karena setelah tiada, saya sadar akan hal-hal yang seharusnya tidak saya abaikan. Faktanya memang seperti itu ya. Siapapun, tetap saja, kita akan menyadari sesuatu itu berharga until it’s gone. Betapa lucu fakta yang satu itu.
     Saya selalu mengatakan pada diri sendiri; maafkan dirimu atas apa yang tidak kamu ketahui. Tapi … bisakah? Semudah itu? Saya ga pernah tau kamu akan pulang ke rumah secara tiba-tiba, dan di perjalananmu yang hendak menghampiri saya di tanah rantau, kamu malah dijemput Yang Maha Kuasa. Dengan cara yang tak pernah terlintas dalam bayang-bayang siapapun. Lalu, akan semudah itu kah saya memaafkan diri sendiri atas kepergianmu?
     Waktu itu, saya sedang berada jauh dalam jurang gelap, bertengkar dengan hidup dan dunia, ketika masuk telepon dari mereka. Menyesal sekali rasanya saya angkat telepon itu. Katanya kamu sudah tidak ada lagi, di mana pun itu. Dan yang bisa saya lakukan hanya diam. Semakin tenggelam jauh dalam kegelapan. Ingat sekali akan saya yang kebingungan, harus kah menangis atau … apa? Apa yang harus saya lakukan? Benar-benar gila rasanya membohongi diri sendiri dari kenyataan di depan mata. Seolah saya tak pernah jatuh ke dalam jurang gelap itu, seolah tak pernah terima telepon dari siapapun.
     Di akhir pekan, antara menyelesaikan Juli dan menyambut Agustus, saya menghabiskan waktu di kampung halaman Mbah, tempat kelahiranmu. And because of it, kamu terasa kembali hadir. Di sana, di tiap-tiap sudut yang saya hampiri. Sore itu, jalan-jalan keliling kampung seorang diri, hingga sampai di pemakaman. Mata saya mencari keberadaanmu, hati saya ingin sekali ke sana, menepuk pundakmu atau bahkan menabrak tubuh besarmu seperti yang biasa saya lakukan dengan sengaja, namun kedua kaki seolah tertanam dalam-dalam ke tanah. I’m just standing still. Pengecut sekali. Sungguh, ini kali pertamanya saya, yang mencari adanya dirimu.

     Merindukanmu, datang seperti ombak.
     Saya dibuat tenggelam selama 3 hari berturut-turut.
     Memori-memori mencuat keluar dari sudut mata dan jatuh basahi pipi.All I do is silence. Karena ocehan-ocehan saya di belakang kamu terus membisiki, jejeritan. Seolah minta untuk dilepaskan saja, dan lupakan. Namun semakin mencoba, rasanya semakin sulit. Semakin banyak yang muncul dalam laci memori. Tiap kali saya benci adanya dirimu dengan celoteh memuakkan telinga, padahal saya tau maksudmu untuk membangun, membantu saya untuk berdiri dan berlari.
Kamu selalu begitu, dengan tingkah kekanakan yang menjengkelkan. Kamu jauh lebih tua dari saya, tapi tetap saja lengkinganmu memecah gendang telinga tiap kali tikus kecil numpang lewat, atau kecoa. Tingkahmu terlalu kekanak-kanakan dengan tubuh besar itu, terlalu bodo amat menimpa tubuh saya hanya untuk minta perlindungan. Selalu cari perhatian. Sungguh itu adalah sesuatu yang sangat menjengkelkan buat saya. Dan mungkin itulah alasan saya membencimu. Padahal, kalau boleh jujur, saya tidak benci siapapun bahkan kamu. Andai kamu tau ini lebih dulu. Nyatanya, saya hanya mengungkapnya dalam sebuah tulisan yang tidak akan pernah kamu baca.
Sejujurnya, saya teramat merasa sengsara, tiap berada di dekat mereka. Mereka, siapa saja, yang tiba-tiba mengingatmu ketika melihat saya. Kemudian ingatan-ingatan itu hadir dan dituang ke dalam cerita sebagai topik obrolan. Seakan kamu masih di antara semuanya. Seakan kamu sedang duduk di atas Kawasaki Ninja dengan full airbrush Yamaha Movistar yang kompak memodifikasinya bareng abangmu. Sayang, knalpotnya emas bukan hitam, terlalu mencolok, karena kamu menutup telinga dari saran saya.
Tidak perlu ditebak, tapi saya tau; pasti akan selalu teringat kamu. Yang selalu blak-blakan. Selalu marah jika tidak di dengar, atau karena kamu sendiri yang salah. Selalu berceloteh panjang lebar, yang semuanya terdengar sebagai omong kosong di telinga saya, padahal yang keluar dari mulutmu tidak selamanya salah. Memang selalu ada saat dimana kamu menjadi seorang dewasa seolah bukan dirimu yang biasanya, atau mungkin memang saat itu adalah kamu, yang tidak banyak diketahui orang lain. Bahkan saya sendiri.
     Satu hal. Tak ada amarah yang tersimpan dalam hati saya karena mendengarkan saran yang kamu berikan, perihal iya atau tidaknya. Saya menjalani apa yang memang harus dijalani, karena kamu lebih tau apa yang seharusnya untuk saya. Tidak. Saya benar-benar tak menyimpan dendam atau apalah itu. Saya rasa, kamu berusaha menunjukan hidup dari sudut pandangmu. Kalimat darimu selalu punya maksud tertentu, saya tau itu. Bahkan, senang rasanya mendengarkan saran darimu waktu itu dan melakukannya. Apa yang terjadi, terjadilah. Semuanya selalu disertai maksud, begitu kan yang berusaha kamu sampaikan?

Di sini, seolah saya masih duduk menunggu kedatanganmu dengan oleh-oleh yang selalu saya minta seminggu sebelum kamu pulang ke rumah.

     I just … never ready for you to leave.


     Saya hanya punya cara saya sendiri untuk mengenang hadirmu. Perasaan itu kerap hadir. Sebuah kata sesal dan rasa bersalah yang teramat. Karena tiap kali kamu diam-diam menggunakan ponsel saya untuk berfoto, selalu saya hapus dengan santainya. Satu pun, tak ada potret yang dapat membantu saya mengenang akan bagaimana rupa wajahmu tiap tahunnya. Hanya dengan cara saya sendiri.





p.s. : would you tell me that you miss me back?