Februari senja tenggelam dalam pantulan bulan yang malam itu sudah usai purnamanya. Benderang. Langit pekat yang bersih tanpa bintang, tapi cukup ramai, dan tidak apa-apa.
Tidak apa-apa bagi kita untuk sejenak menikmati detik yang harusnya
dinikmati selagi tidak sendiri. Selagi sedang tidak menoleh ke belakang, atau
terkurung dalam kesendirian yang berisik, selagi tidak meneropong jauh ke suatu
di sana yang belum tentu ada.
Saya
bertemu hujan hari itu. Berkisah, nonanya entah kenapa … mondar-mandir tak karuan
sambil gigit kuku jempol yang belum sempat dipotong. Tentu hal pertama yang
hujan tanyakan adalah perihal apa yang ia rasakan beberapa hari terakhir. Dan
nona terdiam.
“Apa kau baik-baik saja?” tanya hujan lagi.
“Justru
itu. Aku merasa baik-baik saja, lalu dimana tidaknya?”
Dari
balik jendela berbingkai kayu kecoklatan yang mulai rapuh itu, saya tempelkan
pipi di atas telapak tangan, sambil terus mendengar sang hujan. Dikatakan, nona
merasa ada yang aneh dengan dirinya. Selama ini, sudah tak asing rasanya untuk
merasa tidak baik-baik saja. Seolah berkawan lama, kemudian terpisahkan dengan
paksa.
“dan
mungkin aku memang merindu untuk itu.” begitu kata nona.
Padahal,
akan selalu baik-baik saja, namun harus ada ‘tidak’ yang sesekali memberi warna
lain. Menghadirkan rasa syukur yang cukup untuk diutarakan kepada Sang Pencipta.
Lalu, bagaimana jika saat dimana ‘tidak baik-baik saja’ terlalu mendominasi?
Kemudian
nona berkata begini, “Aku baik-baik saja, dan aku senang akan hal itu.
Nyatanya, kutakutkan kelak kata ‘tidak’ itu tiba-tiba datang menghantamku
bertubi-tubi hingga tak bisa bangkit lagi, tak seperti yang dulu-dulu.”
“Dulu
belum ada aku.” timpal hujan.
Mendengarnya, nona hanya tersenyum. Senyum lembut seperti pakaian yang baru disetrika. Detik berikutnya, kata hujan, nona berkata,
“Justru dengan derasnya hadirmu saat ini, hujan, kutakutkan terjerembab ke dalam tanah basah yang kotor—baunya sudah tak sama lagi, dan kau hanya membuatnya longsor menimpaku sendirian.”
Sebentar. Jadi, ini semua tentang nona dan hujannya sejak awal?
“Kau
aneh, nona. Sungguh.”
“Bilang
saja satu dari seribu, itu jauh lebih baik.”
Dan
nona hanya tersenyum, sementara hujan rintik-rintik sebentar kemudian sampai
detik sekarang kembali mengguyur malam yang tak lagi hening. Saya hanya di sini
untuk mendengarkan.
‘Sebab suatu sore harinya
menyampaikan kebahagian padanya.’