;lalu ia menjelma Nona Senja.
Bukan
apa-apa. Hanya satu kisah yang berakhir terpaksa, untuk melanjutkan kisah lain
yang tertumpuk sekian lama hampir dilupa. Mungkin segala sesuatu memang selalu
ada sebabnya. Mungkin kisah baru harus saya paksa akhiri untuk menyelesaikan
kisah lama yang belum ada maknanya. Mungkin semesta mau bicara seperti itu pada
saya, dia hanya malu. Semesta hanya minta pada senja, hujan, dan rembulan untuk
menyiratkan pesannya.
Saya
pikir, memang akan selalu ada kisah yang harus terdengar jelas. Namun kadang pengarangnya
terlalu jauh tenggelam pada kedalaman luka-luka; berusaha mencari kekuatan
sejatinya, kemudian kisah itu terlantar. Seakan nyaman disana, ia tak ingin
kembali. Karena belum sempat berlabuh, sudah kandas. Belum sempat
tumbuh, sudah layu. Begitu katanya. Mungkin, hal itu terjadi sebab
sedari awal kita masih ragu dengan tokoh di prolognya. Aksara mengambang di
atas, hingga pupus, dan berakhir tidak ada apa-apanya. Apa yang mesti ditulis
untuk mengisi bagian epilognya jika sudah begitu?
Semesta,
saya percaya kamu mendengar bisikan hati kecil ini, selalu. Kisah yang kamu
paksa akhiri, kamu lakukan untuk saya, iya kan? Kamu dengar percakapan yang
tidak saya dengar. Kamu lihat siapa yang tidak bisa saya lihat–untuk saat ini.
Bila suatu saat saya masih akan bertemu dengannya, semoga rotasi kami tidak
lagi bersinggungan kisah. Saya harap, kami bisa saling menyamai langkah untuk
memulai rotasi berdua. Pun berdua atau tidaknya, semesta pasti tau apa-apa dan
kenapanya. Hanya perlu berlapang dada untuk terima saja.
Ya
sudah lah, jangan sok-sokan jadi pengatur cerita begitu. Kamu bukan siapa-siapa
di bandingkan semesta. Yang tau apa yang sudah tertulis untukmu ya bukan kamu,
jangan sok tau begitu. Hidup memang harus dinikmati selagi muda begini, tapi ya
jangan doyan sok-sokan begitu. Semesta punya caranya sendiri untuk
menyadarkanmu, dan mengajari kamu jadi dewasa.
Duh,
sudah pukul satu panas bolong begini. Pantas saya kelewat bicara sejak tadi.
Tapi, memang begitu adanya kok. Saya sampaikan apa yang mungkin mengganjal
dalam benak mereka; yang nggak tegaan, yang nggak enakan. Yang biasa memendam
segalanya dan ujung-ujungnya menelan pahitnya sendirian.
Gapapa,
terimakasih kembali.