Diskusi Biru

apa-apa untuk siapa saja, selalu dari sang Nona :)

17 Agustus 2019

Kiranya kamu tidak boleh lupa ini



Saya selalu tidak tau harus memulainya dari mana dengan kamu, jika apapun yang berkaitan dengan hanya dirimu. Apa dengan lambaian tangan hai penuh ceria, atau senyum lebar penuh kepalsuan cukup? Kata-kata pun tak dapat terangkai dengan gamblang. Karena masih banyak teka-teki yang tanpa ada jawabnya, dicari sampai ke ujung dunia bahkan terdasar samudra pun tak akan dijumpai. Kamu tau apa sebabnya? Karena sebelumnya memang tidak pernah ada pertanyaan yang butuh jawaban. Tidak ada pertanyaan yang benar-benar diajukan. Pertanyaan atau pernyataan tak ada bedanya, sebab kata hanya berngiang ria dalam angan-angan, tidak untuk diucapkan.
Kamu mungkin pernah di sana, tapi tidak benar-benar ada, walau kamu memang di sana. Entah bagaimana, sesuatu yang nyata adanya terasa sulit untuk dijelaskan. Ia hanya begitu, dan saya percaya saja. Namun yang patut diingat, angkasa itu raya. Ladang bintang di atas sana. Bukan hanya satu, beribu-ribu bisa ikut cemburu dengan apa yang kamu dan saya miliki detik itu. Atau bisa saja semesta iri dan menjadikan kita tidak lagi terdiri dari kamu dan saya. Semesta seringkali bermain curang, mengajak jarak dan waktu untuk ikut andil dalam kisah yang seharusnya hanya diperankan oleh kita. Bagaimanapun, rasa percaya akan membuat segalanya terasa baik-baik saja. Setidaknya, itu yang akan saya lakukan jika kamu masih bersedia untuk tetap di sana, bukan sekadar menjadi pernah untuk ada.
Saya kira kita butuh kata. Sekadar beberapa untuk epilog yang luar biasa. Sudah baca bagian prolognya belum? Karena jika sudah, kamu pasti akan tersentak dan temukan beberapa kata kunci yang cocok setelahnya. Atau saya yang salah mungkin, berbincang semaunya. Hanya saja bukan sekadar kata yang kita butuh, jiwa juga perlu. Harus. Kiranya kamu tidak boleh lupa, bahwa tak peduli berkali-kali semesta melenyapkan matahari dan bulanmu, seberapa banyak ia menarik jarak di antara kita, saya akan tetap di sana menunggu yang akan kembali. Saya dibuat cukup sering berandai tiap kali duduk diam dan teringat kamu melalui hal-hal kecil yang sepele dan konyol. Bagaimana jika semesta usil dengan kisah kita? Akhir yang saya inginkan, yang tidak pernah kamu bayangkan, atau mungkin yang memang ditakdirkan untuk terlaksana.
Katakan saja bahwa saya akan di sana, menjadi air di bawah jembatan penyebrangan. Ketika kamu terjatuh, disengaja atau tidak, akan pada saya. Ingat tidak, suatu hari kamu pernah bilang lebih baik tenggelam daripada renang ke tepian. Dengan senang hati saya akan menjadi air di bawah jembatan itu untukmu. Sayangnya, hingga musim-musim berganti, yang saya ketahui kamu sudah tak lagi berjalan melalui jembatan di atas air. Sudah bosan mungkin ya? Paling juga sudah kamu temukan jalan pintas di sisi lain semesta. Kamu biarkan kaki-kaki jenjang lain lewati jembatan itu, hampir setiap hari, dan kamu benar-benar sudah tidak di sana untuk berjalan di atas jembatan.
Maksud semesta mungkin bukan untuk tidak adil pada saya dan kamu, justru untuk mengadili apa yang tidak seharusnya jadi milik kita. Mereka bilang, semesta membuat jauh dua hal untuk menjadikannya lebih baik lagi hanya supaya sempurna ketika dibersamakan kembali. Mungkin begitu dengan kita, tidak kah kamu berpikiran yang sama? Ah, astaga! Saya terasa hidup untuk mendambamu dengan keterlaluan, dan itu menjijikan. Yang saya tau adalah ketika menginginkanmu disaat tangan ini menggenggam bilah pisau. Apa yang sebenarnya diinginkan dari kamu oleh saya? Ugh.


Untuk kamu,


sejak awal agustus