Saya selalu
tidak tau harus memulainya dari mana dengan kamu, jika apapun yang berkaitan
dengan hanya dirimu. Apa dengan lambaian tangan hai penuh ceria, atau senyum
lebar penuh kepalsuan cukup? Kata-kata pun tak dapat terangkai dengan gamblang.
Karena masih banyak teka-teki yang tanpa ada jawabnya, dicari sampai ke ujung
dunia bahkan terdasar samudra pun tak akan dijumpai. Kamu tau apa sebabnya?
Karena sebelumnya memang tidak pernah ada pertanyaan yang butuh jawaban. Tidak
ada pertanyaan yang benar-benar diajukan. Pertanyaan atau pernyataan tak ada
bedanya, sebab kata hanya berngiang ria dalam angan-angan, tidak untuk
diucapkan.
Kamu
mungkin pernah di sana, tapi tidak benar-benar ada, walau kamu memang di sana.
Entah bagaimana, sesuatu yang nyata adanya terasa sulit untuk dijelaskan. Ia
hanya begitu, dan saya percaya saja. Namun yang patut diingat, angkasa itu
raya. Ladang bintang di atas sana. Bukan hanya satu, beribu-ribu bisa ikut
cemburu dengan apa yang kamu dan saya miliki detik itu. Atau bisa saja semesta
iri dan menjadikan kita tidak lagi terdiri dari kamu dan saya. Semesta
seringkali bermain curang, mengajak jarak dan waktu untuk ikut andil dalam
kisah yang seharusnya hanya diperankan oleh kita. Bagaimanapun, rasa percaya
akan membuat segalanya terasa baik-baik saja. Setidaknya, itu yang akan saya
lakukan jika kamu masih bersedia untuk tetap di sana, bukan sekadar menjadi
pernah untuk ada.
Saya kira
kita butuh kata. Sekadar beberapa untuk epilog yang luar biasa. Sudah baca
bagian prolognya belum? Karena jika sudah, kamu pasti akan tersentak dan
temukan beberapa kata kunci yang cocok setelahnya. Atau saya yang salah
mungkin, berbincang semaunya. Hanya saja bukan sekadar kata yang kita butuh,
jiwa juga perlu. Harus. Kiranya kamu tidak boleh lupa, bahwa tak peduli
berkali-kali semesta melenyapkan matahari dan bulanmu, seberapa banyak ia
menarik jarak di antara kita, saya akan tetap di sana menunggu yang akan
kembali. Saya dibuat cukup sering berandai tiap kali duduk diam dan teringat
kamu melalui hal-hal kecil yang sepele dan konyol. Bagaimana jika semesta usil
dengan kisah kita? Akhir yang saya inginkan, yang tidak pernah kamu bayangkan,
atau mungkin yang memang ditakdirkan untuk terlaksana.
Katakan
saja bahwa saya akan di sana, menjadi air di bawah jembatan penyebrangan.
Ketika kamu terjatuh, disengaja atau tidak, akan pada saya. Ingat tidak, suatu
hari kamu pernah bilang lebih baik tenggelam daripada renang ke tepian. Dengan
senang hati saya akan menjadi air di bawah jembatan itu untukmu. Sayangnya,
hingga musim-musim berganti, yang saya ketahui kamu sudah tak lagi berjalan
melalui jembatan di atas air. Sudah bosan mungkin ya? Paling juga sudah kamu
temukan jalan pintas di sisi lain semesta. Kamu biarkan kaki-kaki jenjang lain
lewati jembatan itu, hampir setiap hari, dan kamu benar-benar sudah tidak di
sana untuk berjalan di atas jembatan.
Maksud
semesta mungkin bukan untuk tidak adil pada saya dan kamu, justru untuk
mengadili apa yang tidak seharusnya jadi milik kita. Mereka bilang, semesta
membuat jauh dua hal untuk menjadikannya lebih baik lagi hanya supaya sempurna
ketika dibersamakan kembali. Mungkin begitu dengan kita, tidak kah kamu
berpikiran yang sama? Ah, astaga! Saya terasa hidup untuk mendambamu dengan
keterlaluan, dan itu menjijikan. Yang saya tau adalah ketika menginginkanmu
disaat tangan ini menggenggam bilah pisau. Apa yang sebenarnya diinginkan dari
kamu oleh saya? Ugh.
Untuk
kamu,
sejak awal
agustus