Tidak. Aku bukan Boy Candra.
Lima kata yang mengawali judul kali ini hanya
begitu indah terdengar di telinga, selain karena begitu cocok untuk mengisahkan
sosok yang dibawa pergi senja berkali-kali.
Tadinya, aku tak pernah tau senja itu apa.
Hingga terukir satu hari kala februari senja.
Hari dimana seorang sahabat mengajakku
berkelana, berdua saja. Berkeliling kota mencari sesuatu yang tak pasti ada.
Hingga sampai di penghujung hari, ia membawaku untuk berkenalan dengan senja.
Biru dan merah bertemu. Tidak, bukan hanya
dua warna itu, melainkan begitu banyak yang bersatu padu menghias cakrawala.
Detik itu, netraku seolah terhipnotis selamanya. Seakan terbang dan menyatu
pada lukisan senja itu.
Namun, kala kedipan mata bangunkanku dari
hipnotis itu, senjanya sirna. Jelaga dan purnama sudah bersama saja, dan tanpa
kejora.
“Tanpa berdiskusi dengan semesta, senja sudah
harus pulang. Ia hanya ingin ditunggu keindahannya lalu pamit tanpa harus
berlama-lama.”
Dari matanya, kulihat senja tenggelam di sana.
“Tidak. Ia sudah lama tenggelam di matamu.”
Netraku terasa membeku. Tak lepas memandang
sesiapa yang bersanding di sisi. Baru kusadari, aku berdua di sini dengannya,
menyambut kepergian senja.
“Kamu sebegitu menyukai senja, ya?”
“Senja itu canduku.”
“Kupanggil saja kamu Tuan Senja.”
“Lalu kamu nonanya? Setuju.”
Tidak. Kepalaku spontan menggeleng. Aku mana
bisa dijuluki seperti itu jika berkenalan dengan senja saja baru sekali ini?
“Aku akan menjadi Tuan Senjamu, selamanya.”
“Kalau begitu, jangan datang untuk pergi
seperti senja.”
“Aku Tuan Senjamu, hanya untukmu. Tentu saja
aku akan pergi untuk kembali padamu.”
Berbeda dari senja lainnya, begitu katanya.
Sejatinya, bumi membenci manusianya yang
hina. Ada sebuah karma yang siap sedia dilemparkan ke arah kita. Ekspektasi pun
tak pernah realistis.
Senja berikutnya, yang ketiga hingga entah ke
berapa, masih berdua saja dengannya. Tuan senja, ya, kupanggil seperti itu.
Mengajarkanku analogi, filosofi, apapun itu, yang berkaitan dengan senja.
Selalu.
Sebelumnya, senja selalu penuh cinta.
Tapi tidak lagi. Sejak kamu memutuskan pergi.
Ah bukan.
Hingga pada akhirnya, senja itu membawamu
pergi.
Bodohnya, aku mengiyakan perkataanmu.
Angan-angan belaka. Hanya rentetan aksara yang menyiram bunga-bunga dalam asa,
sampai kemudian terbakar nelangsa angin lalu.
Katamu, kamu akan menjadi senja yang berbeda
untukku.
Namun hari itu, kamu datang untuk mengucap
kata selamat tinggal.
“Tentu saja aku akan pergi untuk kembali;
padamu, nonaku.”
Merasa ragu untuk menunggumu.
Pertanyaan sebenarnya adalah, akankah kamu
menjadi senjaku selamanya? Hanya untukku, wahai Tuan Senja?
Karena pada kenyataan yang ada, kita berjanji
untuk diingksri. Dan kata maaf diucapkan untuk terulang lagi. Pun tak ada yang
abadi. Walau senja ada dengan detik yang tak lebih menit pun kurang,
bagaimanapun juga ia akan ada di hari esok. Namun tak pasti, itu realita yang
menyiksa.
Sebelumnya, senja pernah membawamu pergi. Tak
berpijak di atas tanah yang sama. Dan senja itu tak indah lagi.
“Kita masih berada di bawah langit yang sama, tak apa.”
Kala senja berikutnya, ia membawamu pergi, lagi. Benar-benar pergi, begitu
jauh dari jangkauanku. Tidak. Senja bukannya membawamu pergi, tapi
melenyapkanmu dari pandanganku. Seolah ia cemburu saja pada kita.
“Masih satu dunia, tak apa.”
Bagiku, apa-apa jika langitku tak berhias
senja milikku.
Tuan Senja hanya tersenyum dan berkata bahwa
aku bisa melalui hari-hariku tanpa senja milikku. Bahwa aku akan baik-baik saja.
“Senja selalu indah apa adanya. Tak harus ada
senja milikmu. Tinggal bayangkan Tuannya bersanding di sisimu, dan senja itu
akan indah selamanya.”
Hidup memang tak adil, dan semesta begitu
jahat padaku.
Pernyataan yang tak terucap adalah, senja
milikku itu berpesan agar aku selalu menanti kedatangan satu senja istimewa
yang akan abadi untukku. Benar-benar selamanya.
Aku menunggu. Terus menunggumu. Hingga
ragu-ragu.
Senja selalu pergi. Entah benar-benar kembali
atau tidak. Lalu senja membawamu pergi. Entah akan membawamu kembali lagi atau
... mungkin tidak. Mungkin sejak detik awal senja membawamu pergi, ia sudah
melumatmu habis-habisan, agar tak ada kata kembali setelah kata pergi. Karena
tanda titik tak pernah disusuli sebuah koma.
Pada senja yang membawamu pergi,
hingga detik ini aku masih menunggu sesuatu
yang tak pasti. Masih menanti cakrawala melukis senjanya, dan masih menanti
sang Tuan yang kan melukis senjaku suatu hari nanti.
Dengan sebuah kata yang terperangkap dalam
asa;
(ragu)
Jejak : Tak ada rasa tak ada pilu. Hanya menunggu dan meragu.
— Ketika Nona Hujan bernostalgia