Kenapa para pujangga hobi selipi rindu,
hujan, kopi dan senja di tiap aksara mereka?
Kala itu, seorang teman bertanya padaku.
Hening, lalu merekahkan senyum. Tak kujawab. Aku hanya tau.
Kenapa rintik hujan selalu membawa rindu
dan pilu?
Aku hanya mendengarnya. Diam. Seolah
menghirup dalam-dalam aroma hujan yang berjatuhan ke tanah. Sebuah racikan
istimewa dari semesta.
Kenapa juga kopi terasa lebih nikmat
diseruput kala senja?
Angin dan rumput yang bergoyang. Kembali ku
mengulum senyum. Mengingat goresan warna-warna di cakrawala sana. Terasa tidak
pahit, walau hitam. Bukan senja, tapi kopinya.
Aku hanya tau. Jika kalian pernah merasakan
hal itu, pasti juga tau. Tak ada karena, tak ada jikalau pun seandainya. Hanya
tau saja.
Namun, di Oktober ini, penghujung hari
terasa semakin tidak ada apa-apanya lagi. Semesta bermuram durja. Siapa yang
membuatnya begitu? Oh, mungkin ia hanya ingin turunkan rinai-rinai peredam
emosiku detik itu.
Tapi tidak. Jangan berekspektasi.
Jagad raya bergemuruh. Mega di cakrawala
ingin berkunjung, bermain bersama semesta. Namun jingga lebih abu-abu, tak
menentu arah yang ditujunya. Tanpa kenapa, tanpa siapa. Tidak ada apa atau
bagaimana. Angkasa retak saja dan jatuh ke bumi, agar tak ada lagi planet
setelah venus sebelum mars.
Kupikir senja ingin bersua dengan hujan.
Sementara keduanya sedang bermusuhan. Oh, bukan. Tidak bermusuhan, tapi memang
tak pernah ditakdirkan untuk menjadi tempat senja pulang, atau bahkan menjadi
tempat hujan berjatuhan ribuan kali. Langit ikut sendu dan kelu.
Abu-abu hiasi kotaku sore itu. Hujan tak
datang, senja menghilang. Andaikan Matahari tau seberapa besar asa keduanya
akan sebuah titik temu yang pasti. Titik dimana tak ada kata cemburu maupun
terluka karena salah satu dari dua romansa di alam raya.
Samudra, dengarkah kau bisikan itu? Sudikah
dirimu menjadi titik temu hujan dan senja? Agar tak lagi ada tabu, semu atau
abu-abu yang mengelu melulu. Jadikan satu hari dari perputaran planet-planet di
bima sakti sebagai saksi bisu yang nyata di titik temu keduanya.
Tapi, sudikah dirimu, wahai Samudra?
Agar hujan segan bersemayam di atas kapas
selembut sutra. Agar senja selalu ingin datang berkunjung walau tak hitung
kedipan mata. Agar semesta lega. Agar hari-hariku kembali istimewa. Agar aku
baik-baik saja.
- Penghujung Oktober, Jogja bermuram durja