Diskusi Biru

apa-apa untuk siapa saja, selalu dari sang Nona :)

25 Oktober 2018

Hujan tak datang, Senja menghilang


Kenapa para pujangga hobi selipi rindu, hujan, kopi dan senja di tiap aksara mereka?

Kala itu, seorang teman bertanya padaku. Hening, lalu merekahkan senyum. Tak kujawab. Aku hanya tau.

Kenapa rintik hujan selalu membawa rindu dan pilu?

Aku hanya mendengarnya. Diam. Seolah menghirup dalam-dalam aroma hujan yang berjatuhan ke tanah. Sebuah racikan istimewa dari semesta.

Kenapa juga kopi terasa lebih nikmat diseruput kala senja?

Angin dan rumput yang bergoyang. Kembali ku mengulum senyum. Mengingat goresan warna-warna di cakrawala sana. Terasa tidak pahit, walau hitam. Bukan senja, tapi kopinya.

Aku hanya tau. Jika kalian pernah merasakan hal itu, pasti juga tau. Tak ada karena, tak ada jikalau pun seandainya. Hanya tau saja.

Namun, di Oktober ini, penghujung hari terasa semakin tidak ada apa-apanya lagi. Semesta bermuram durja. Siapa yang membuatnya begitu? Oh, mungkin ia hanya ingin turunkan rinai-rinai peredam emosiku detik itu.

Tapi tidak. Jangan berekspektasi.

Jagad raya bergemuruh. Mega di cakrawala ingin berkunjung, bermain bersama semesta. Namun jingga lebih abu-abu, tak menentu arah yang ditujunya. Tanpa kenapa, tanpa siapa. Tidak ada apa atau bagaimana. Angkasa retak saja dan jatuh ke bumi, agar tak ada lagi planet setelah venus sebelum mars.

Kupikir senja ingin bersua dengan hujan. Sementara keduanya sedang bermusuhan. Oh, bukan. Tidak bermusuhan, tapi memang tak pernah ditakdirkan untuk menjadi tempat senja pulang, atau bahkan menjadi tempat hujan berjatuhan ribuan kali. Langit ikut sendu dan kelu.

Abu-abu hiasi kotaku sore itu. Hujan tak datang, senja menghilang. Andaikan Matahari tau seberapa besar asa keduanya akan sebuah titik temu yang pasti. Titik dimana tak ada kata cemburu maupun terluka karena salah satu dari dua romansa di alam raya.

Samudra, dengarkah kau bisikan itu? Sudikah dirimu menjadi titik temu hujan dan senja? Agar tak lagi ada tabu, semu atau abu-abu yang mengelu melulu. Jadikan satu hari dari perputaran planet-planet di bima sakti sebagai saksi bisu yang nyata di titik temu keduanya.

Tapi, sudikah dirimu, wahai Samudra?

Agar hujan segan bersemayam di atas kapas selembut sutra. Agar senja selalu ingin datang berkunjung walau tak hitung kedipan mata. Agar semesta lega. Agar hari-hariku kembali istimewa. Agar aku baik-baik saja.



-   Penghujung Oktober, Jogja bermuram durja